Keperawatan Gawat Darurat(FRAKTUR)


Tugas            : Keperawatan Gawat Darurat
BAB I
PENDAHULUAN
A.   Latar Belakang
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya atau hilangnya kontinuitas tulang yang dapat disebabkan oleh dorongan langsung pada tulang, kondisi patologik,kontraksi oto yang sangat kuat dan secara tiba-iba atau doronan yang tidak langsung.
LAPORAN PENDAHULUAN FRAKTUR
FRAKTUR
Kesehatan dan baiknya system musculoskeletal sangat tergantung pada system tubuh yang lain. Masalahini biasanya tidak mengancam jiwa, namun mempunyai dampak yang bermakna terhadap aktivitas dan produktivitas penderita. Masalah tersebut dapat dijumpai di segala bidang praktik keperawatan, serta dalam pengalaman hidup sehari-hari.
Berdasarkan pemikiran tersebut di atas maka kami tertarik untuk mengangkat kasus ini sebagai bahan seminar yang ditujukan untuk meningkatkan mutu pelayanan keperawatan.
B.   Tujuan Penulisan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menerapkan askep pada klien dengan gangguan system musculoskeletal (fraktur)
2. Tujuan Khusus
a. Mahasiswa mampu mengkaji masalah fraktur
b. Mahasiswa mampu merumuskan diagnosa keperawatan dengan masalah fraktur
c.  Mahasiswa mampu merencanakan tindaka keperawatan dengan masalah fratur
d. Mahasiswa mampu mengimplementasikan rencana tindakan keperawatan dengan masalah fraktur
e. Mahasiswa mampu mengevaluasi tindakan keperawatan dengan masalah fraktur.
C.   Sistematika Penulisan
1.    Tinjauan teoritis, yaitu mempelajari literature yang berhubungan dengan fraktur
2.    Tinjauan kasus, yaitu melakukan proses keperawatan langsung pada pasien fraktur
3.    Studi dokumentasi, yaitu mempelajari catatan medis di RS Labuang Baji(Ruang Baji Kamase  1) pada pasien dengan fraktur
BAB II
TINJAUAN  TEORITIS

I.                 Konsep Dasar Medis
a.    Defenisi
Fraktur atau patah tulang adalah terputusnya / hilangnya kontinuitas tulang yang dapat disebabkan oleh dorongan langsung pada tulang, kondisi patologik, kontraksi otak yang sangat kuat dan secara tiba-tiba atau dorongan yang tidak langsung.
b.    Etiologi
Penyebab utama fraktur adalah trauma langsung pada tulang, misalnya kecelakaan kendaraan, jatuh. Ada juga penyebab lain yaitu penganiayaan dan penyakit tulang, seperti neuro prastama netastatik, sarcoma ostogenik, osteogenesis imperfekta, rakhitis, detisiensi tembaga dan osteomielitis.
c.    Patofisiologi
Ketika terjadi tulang patah, periosteum dan pembuluh darah pada korteks, sumsum dan jaringan lemak sekitarnya terputus. Perdarahan akan terjadi akibat dirusak oleh ujung tulang pada jaringan lunak yang dekat dengan tulang yang akan cedera. Hematoma akan terbentuk dalam saluran medula antara ujung tulang yang patah dan di bawah periosteum. Jaringan tulang segera berhubungan pada tulang yang patah dan terbentuklah jaringan tulang yang baru. Secara umum tulang lunak lebih cepat sembuh dibanding tulang keras karena tulang lunak kaya akan suplai darah.
d.    Manifestasi Klinik
-      Riwayat trauma
-      Nyeri lokal dan makin bertambah bersama gerakan
-      Hilangnya fungsi anggota gerak dan persendian yang terdekat karena fungsi normal
-      Terdapat perubahan bentuk (defornitas)
-      Nyeri tekan
-      Nyeri yang hilang dengan istirahat
-      Kerusakan fungsi / pincang
-      Gerakan terbatas
-      Ekimosis di sekitar lokasi
-      Krepitus di sisi fraktur
e.    Penatalaksanaan Medis
Penatalaksanaan medis bervariasi sesuai jenis fraktur. Cara penatalaksanaannya mencakup reduksi terbuka, reduksi tertutup, traksi, pemasangan gips. Analgesicik dipakai untuk menghilangkan rasa sakit dosis dan jenisnya tergantung intensitas nyeri anak.
f.     Pragnosis
Tulang mempunyai kemampuan bergenerasi yaitu melalui lima tahap penyembuhan :
-      Tahap Hematoma Formation
-      Tahap Selluler Provivoration
-      Tahap Calles Formation
-      Tahap Osipication
-      Tahap Konsilidation dan Remodiling
Tulang lunak lebih cepat sembuh dibanding tulang keras karena tulang lunak kaya akan suplai darah.
II.         Konsep Dasar Keperawatan
a.    Pengkajian
Ø  Aktivitas / Istirahat
Tanda :           keterbatasan / kehilangan fungsi pada bagian yang terkena (mungkin segera, fraktur itu sendiri atau terjadi secara sekunder dari pembengkakan jaringan, nyeri)
Ø  Sirkulasi
Tanda :           Hipertensi, Hipotensi
              Takikardia (respons stress, Hipovolenia)
·      Penurunan / tak ada nadi pada bagian distal yang cedera : pengisian kapiler lambat, pucat pada bagian terkena.
·      Pembengkakan jaringan atau massa hematoma pada sisi cedera.
Ø  Neurosensoris
Gejala :           Hilang gerakan / sensasi, spasme otot
              Kebas / kesemutan (parestesis)
Tanda :           Deformitas lokal, ongulasi abnormal, pemendekan, rotasi, krepitasi, spasme otot, terlihat kelemahan / hilang fungsi.
              Agitasi (mungkin berhubungan dengan nyeri / ansietas atau trauma lain)
Ø  Nyeri / Kenyamanan
Gejala :           Nyeri berat tiba-tiba pada saat cedera
              Spasme / kram otot (setelah imobilisasi)
Ø  Keamanan
Tanda :           Laserasi kulit, axulsi jaringan, perdarahan, perubahan warna, pembengkakan lokal (dapat meningkat secara bertahap / tiba-tiba)
b.    Pemeriksaan Diagnostik
-          Pemeriksaan ronsen : menentukan lokasi / luasnya fraktur / trauma
-          Skan tulang, tomogram, skan CT/MRI : memperlihatkan fraktur ; juga digunakan untuk mengidentifikasi kerusakan jaringan lunak
-          Hitung darah lengkat : Ht mungkin meningkat atau menurun. Peningkatan jumlah SDD adalah respon stress normal setelah trauma.
-          Kreatinin : trauma otot meningkatkan beban kreatinin untuk klirens ginjal
III.       Diagnosa Keperawatan
-          Nyeri b/d fraktur
-          Resiko cedera tambahan b/d pemasangan alat Immobilisasi
-          Kerusakan integritas kulit b/d pemasangan alat traksi, bedah perbaikan
-          Gangguan mobilitas b/d fraktur
-          Gangguan perfusi jaringan b/d suplai O2 ke jaringan berkurang
-          Resiko tinggi infeksi b/d fraktur terbuka, part de entry MO
-          Kurang pengetahuan b/d perubahan status kesehatan
-          Kecemasan b/d koping individu inefektif.

















Related Posts:

    Apakah factor kepadatan hunian, factor pengetahuan ,factor prilaku, dan factor personal hygiene berhubungan dengan kejadian kusta pada pasien Rumah Sakit khusus Tajuddin Chalid Makassar Tahun 2014.

    BAB I
    LATAR BELAKANG
    A.  Pendahuluan
    kusta
               Kusta atau lepra (sering disebut penyakit Hansen ) adalah infeksi kronis disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf otak dan medulla spinalis), bila tidak ditangani akan berakibat rusaknya kulit, selaput lendir hidung, buah zakar(testis) dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath. (akhsin zulkoni: 2010)
             Berdasarkan data WHO  tahun 2013, total 115 negara atau teritori melaporkan kusta WHO: 25 dari Daerah Afrika, 28 dari Wilayah Amerika, 11 dari Wilayah Asia Tenggara, 20 dari Daerah Mediterania Timur dan 31 dari Kawasan Pasifik Barat. Sebagian besar negara di wilayah Eropa belum melaporkan kasus dalam beberapa tahun terakhir, meskipun beberapa mendeteksi beberapa kasus setiap tahunnya. Pada awal tahun  2012 ada 232.876 kasus baru kusta terdeteksi, dan prevalensi terdaftar adalah 189.018 kasus. (WHO: 2013)
    Di kawasan ASEAN, Indonesia menduduki tempat teratas keempat. Myanmar di urutan kedua dengan 3.082 kasus, Filipina
    ketiga (2.936). Dua negara tetangga Indonesia, Malaysia hanya 216 kasus dan Singapura 11 kasus.(Compas: 2013)
    Penyakit kusta menyebar di seluruh dunia mulai dari Afrika, Amerika, Asia Tenggara, Mediterania Timur dan Pasifik Barat. Berdasarkan data di Asia tenggara sendiri mencapai  133.422 kasus (PR 0,81 / 10.000 ), (Melinda :2013)
    Berdasarkan data 2012 Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah penderita kusta tertinggi di dunia.Dengan jumlah penderita kusta mencapai 23.169 orang membuat Indonesia berada di urutan ketiga dunia penderita kusta terbanyak.Pulau Jawa merupakan daerah yang mendominasi angka penderita penyakit menular ini.jumlah penderita kusta di Indonesia masih cukup tinggi dan terus mengalami peningkatan dibandingkan tahun sebelumnya.(jurnas: 2013)
    Tahun 2012 jumlah penderita kusta terdaftar sebanyak 23.169 kasus dan jumlah kecacatan tingkat 2 di antara penderita baru sebanyak 2.025 orang atau 10.11 persen. Jika dibandingkan tahun 2011 terjadi peningkatan dimana jumlah penderita kusta mencapai 20.023 kasus.sehingga WHO menetapkan Indonesia menempati urutan ke tiga dunia setelah India dan Brazil dengan jumlah penderita kusta tertinggi (jurnas: 2013)
    Berdasarkan hasil pencatatan dan pelaporan dari Bidang P2P Dinas Kesehatan Kota Makassar,  jumlah penderita Kusta pada tahun2009 sebanyak 151 penderita. Angka ini tersebar di tersebar di 38 wilayah kerja Puskesmas dengan prevalensi tertinggi yakni sebesar 4,2 % dengan jumlah penderita sebanyak 9 orang dari total jumlah penduduk di wilayah itu sebanyak 21.326 jiwa (Data Program P2 Kusta Tahun 2009 Dinas Kesehatan Kota Makassar) (watief A rahman: 2010)
    Sedangkan di Rumah Sakit Tajuddin Halid Makassar di Propinsi Sulawesi Selatan Penderita kusta yang dirawat inap di RSK. Dr. tadjuddin Chalid Makassar tahun 2011 jumlah penderita kusta yang menjalani perawatan rehabilitasi akibat kusta adalah sebanyak 358 orang pasien. Dan yang 99 yang masih mendapatkan pengobatan (RS.tajuddin Chalid Makassar: 2013)
    Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubelan  (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena selain menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga  bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama kusta akan mudah menular  kepada anggota keluarga yang lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang di dalam rumahnya.rata-rata luas rumah minimal 10 m2/orang, luas kamar tidur minimal 8 m2 dihuni tidak lebih dari 2 orang,kecualianak dibawah umur 5 tahun. Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itukepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian kusta.  Menurut penelitian disuatu daerah di Indonesia yang menderita kusta karena kepadatan hunian sebanyak 68,6%dan yang tidak sebanyak 31,4%.(yuldan faturrahman:2010)
    Banyaknya penderita kusta  di Indonesia tidak luput dari factor  minimnya pengetahuan,kurangnya pengetahuan penderita terhadap kusta, baik dari segi pencegahan maupun pengobatanya salah satu indikasi meningkatnya kusta di Indonesia. Tahun 2012 ditemukan 540 penderita kusta baru dengan proporsi penderita Multibasiler masih tinggi (75,19%) dan proporsi penderita cacat tingkat II masih diatas standar nasional (8,37%). Kondisi ini menggambarkan proses penularan kusta masih terjadi di masyarakat. Minimnya pengetahuan tentang kusta menyebabkan penderita terlambat berobat sehingga menimbulkan kecacatan.Minimnya pengetahuan juga menyebabkan penderita tidak menyadari pentingnya pengobatan. Di indonesiasendiri berdasarkan suatu penelitian ada 40% penderita yang mempunyai pengetahuan minim tentang kusta menderita penyakit ini.(sulastri: 2011)
    Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk  memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
    psikis. Tujuan dilakukan personal hygiene adalah meningkatkan derajat  kesehatan seseorang, memelihara kebersihan diri seseorangmemperbaiki personal hygiene yang kurang, mencegah penyakit, meningkatkan percaya diri seseorang, menciptakan keindahan.
    sebagian penderita kusta menderita kusta berdasarkan suatu penelitian karena minimnya personal hygienenya misalnya frekwensi mandinya 1 kali dalam sehari. Personal hygiene penderita kusta sebagian kecil buruk , yaitu sebanyak 32,0% (edi wibowo: 2013)
    Perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.Banyak penderita yang perilaku sehatnya memang dibawah standar kesehatan sehingga memiicu perkembangan mycobacterium leprae.perilaku penghuni dengan kategori kurang sebesar 81,1% (Gandhi kusyoko:2010)
    B.   Rumusan Masalah
    Berdasarkan uraian latar belakang diatas, rumusan masalah dikemukakan dalam bentuk : Apakah factor kepadatan hunian, factor pengetahuan ,factor prilaku, dan factor personal hygiene berhubungan dengan kejadian kusta pada pasien Rumah Sakit khusus Tajuddin Chalid Makassar Tahun 2014.
    C.   Tujuan Penelitian
         1.    Tujuan Umum
    Untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian kusta pada pasien Rumah Sakit khusus Tajuddin Chalid Makassar Tahun 2014.
          2.    Tujuan Khusus
    a.    Untuk mengetahui hubungan kepadatan hunian dengan kejadian kusta.
    b.    Untuk mengetahui hubungan pengetahuan  dengan kejadian kusta .
    c.    Untuk mengetahui hubungan personal hygiene  dengan   kejadian kusta.
    d.    Untuk mengetahui hubungan perilaku/sikap  dengan kejadian kusta.

    D.   Manfaat Penelitian
    1.  Manfaat Ilmiah
    Diharapkan dapat memperkaya cakrawala ilmu pengetahuan tentang faktot-faktor yang mempengaruhi kejadian kusta  pada pasien Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar  dan dapat dijadikan referensi tambahan pada penelitian selanjutnya.
    2.  Manfaat Institusi
    Penelitian ini diharapakan dapat menjadi salah satu bahan referensi masukan bagi FKM UIT Makassar pada umumnya dan khususnya bagi peneliti lain.
    3.  Manfaat Praktis
    Merupakan pengalaman berharga serta dapat memperkaya khasanah wawasan ilmu pengetahuan peneliti dalam rangka penerapan ilmu pengetahuan yang diperoleh pada lingkungan masyarakat. 
    BAB II
    TINJAUAN PUSTAKA
    A. Tinjauan umun tentang kusta
    1.  Definisi
                      Kusta atau lepra (sering disebut penyakit Hansen ) adalah infeksi kronis disebabkan oleh bakteri mycobacterium leprae. Terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf otak dan medulla spinalis), bila tidak ditangani akan berakibat rusaknya kulit, selaput lendir hidung, buah zakar(testis) dan mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath. (akhsin zulkoni: 2010)
                      Kusta merupakaan salah satu penyakit infeksi yang kronik penyebab dari penyakit ini adalah Mycobacterium leprae yang menyerang susunan saraf tepi, kulit, dan mukosa traktus respiatorius bagian atas kemudian menyerang keorgan lain kecuali susunan saraf pusat.(Kokasih dalam Isnoor, 2012)
                      Definisi lain menyebutkan penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobakterium Leprae (M.Leprae), yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa atau mulut, saluran pernapasan bagian atas, system retikulo endotelelial, mata, otot, tulang dan testis. Selain itu kusta adalah penyakit menular yangdisebabkan oleh kuman, terutama yang menyerang kulit dan saraf, dengan perkembangan yang sangat lambat dengan masa tunas rata-rata 3-5 tahun. (kokasih dalam Isnoor, 2012)
                      Dengan demikian secara umum kusta, lepra atau Morbus Hansen adalah penyakit kronik yang menular menahun disebabkan oleh kumanMycobakterium Leprae (M.Leprae) yang menyerang susunan saraf tepi, kulit luar, mukosa atau mulut, saluran pernapasan atas, system retikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis dengan masa tunasrata-rata 3-5 tahun.
    2.  Etiologi
                  Penyebab penyakit kusta adalah bakteri Mycobacterium leprae yang berbentuk batang dengan ukuran panjang 1-8 mikron, lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar satu-satu,hidup dalam sel, dan bersifat tahan asam (BTA). (widoyono: 2011)
                  Definisi lain menyebutkan bahwa penyebab penyakit ini adalah Mycobakterim Leprae (M.Leprae) yang menyerang kulit dan di temukan pertama kali oleh Dr.Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1878 di Norwegia. Bakteri lepra merupakan salah satu bakteri yang hanya tumbuh dan berkembang pada manusia saja.Walaupun demikian masih belum dapat dibiakkan karena sulitnya mencari media yang cocok, media yang paling baik sampai saat ini adalah telapak kaki tikus. (isnoor dalam Dinkes Tasikmalaya, 2012).
    Secara morfologik merupakan bakteri Mycobakterium Leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi parallel dengan kedua ujung bulat,ukuran 0,3-0,5x 1-8 mikron. Basil berbentuk batang gram positif, tidak bergerak dan tidak berspora termasuk masa ireguler besar yang disebut ilogobi.M.Leprae memiliki dinding terdiri dari 2 yaitu lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam lapisan lipopolisakarida dan kompleks protein lipopolisakarida pada bagian luar. (isnoor dalam amiruddin, 2012).
    3.  Masa inkubasi
                      Penyakit kusta bersifat menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun,akan tetatpi dapat juga bertahun-tahun. Penyakit kusta dapat ditularkan kepada orang lain melalui saluran pernapasan dan kontak kulit.Bakteri Mycobacterium leprae banyak terdapat pada kulit tangan, daun telinga, dan mukosa hidung.(widoyono: 2011)
                      Definisi lain menyebutkan penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobakterium Leprae (M.Leprae), yang pertama kali menyerang susunan saraf tepi,selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa atau mulut, saluran pernapasan bagian atas, system retikulo endotelelial, mata, otot, tulang dan testis. Selain itu kusta adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman, terutama yang menyerang kulit dan saraf,dengan perkembangan yang sangat lambat dengan masa tunas rata-rata 3-5 tahun. (kokasih dalam Isnoor, 2012)
    4.  Cara penularan
                      Cara penularan kusta Meskipun cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas, penularan di dalam rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat berperan dalam penularan kusta.
    Cara-cara penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta adalah:
    a.    Melalui sekresi hidung, basil yang berasal dari sekresi hidung penderita yang sudah mengering, diluar masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
    b.    Kontak kulit dengan kulit. Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan berulang-ulang. (Melinda dalam Zulkifli:  2010).
    5.  Sumber penularan (resevoir)
    Sampai saat ini hanya manusia satu-satunya yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat hidup pada armadillo, simpanse dan pada telapak kaki tikus yang tidakmempunyai kelenjar thymus (athymic nude mouse) (kemenkes RI:2012).
    Penelitian lain juga mneyebutkan Bakteri lepra merupakan salah satu bakteri yang hanya tumbuh dan berkembang pada manusia saja. Walaupun demikian masih belum dapat dibiakkan karena sulitnya mencari media yang cocok, media yang paling baik sampai saat ini adalah telapak kaki tikus. (isnoor dalam Dinkes Tasikmalaya, 2012).
    6.  Patogenesis
                      Seseorang yang terinfeksi M. leprae belum tentu akan menderita penyakit kusta. Bakteri harus memenuhi jumlah minimum agar dapat tumbuh dan menimbulkan manifestasi klinis.Manifestasi klinis yang ditimbulkan-pun tergantung dari sistem imunitas seluler yang dimiliki host.Pada dasarnya, M. leprae memiliki patogenitas dan daya invasi rendah karena penderita yang terinfeksi lebih banyak kuman belum tentu menimbulkan manifestasi klinis yang lebih parah. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa derajat penyakit lebih dipengaruhi oleh reaksi imunitas host dibandingkan derajat infeksinya.
    Gambar 1. Patogenesis Lepra dan Respon Imun Selular
       Ketika M. leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya sesuai derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam patogenesis lepra, yaitu kutub tuberkuloid (TT) dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi oleh imunitas yang bersifat cell-mediated atau sistem imun humoral. Pada individu yang sistem imun selulernya baik, respon imun dimediasi oleh sel T-helper 1. Sel ini akan mengeluarkan sitokin pro-inflamasi seperti IFN-γ, TNF, IL-2, IL-6, IL-12 serta molekul kemotaktil yang berfungsi memanggil sel makrofag. Sesampainya di kulit, makrofag berubah nama menjadi histiosit. Histiosit akan memfagosit M. leprae sehingga kuman dapat dieliminasi.
          Sedangkan jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag gagal memfagosit M. leprae. Tipe ini dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara mengeluarkan IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan berkembang biak di dalamnya.
                      Sel inidisebut sebagai sel virchow atau sel busa atau sel lepra yang dapat ditemukan di subepidermal clear zone.
                      Akumulasi makrofag beserta derivat-derivatnya membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat ditemukan tertama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti : cuping telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alismata, kaki, dll).
    Gambar 2. Tipe Klinis Lepra Berdasarkan Sistem Imun.
                      Perlu diketahui bahwa penyakit kusta bukanlah penyakit keturunan. Sampai saat ini, cara penularannya belum diketahui secara pasti. Kontak langsung antarkulit yang erat dalam jangka waktu lama serta transmisi airborne (secara inhalasi) diyakini menjadi jalur penularan penyakit ini. Masa inkubasinya bervariasi antara 40 hari hingga 40 tahun, namun pada umumnya terjadi dalam 3-5 tahun setelah pertama kali terinfeksi.(yohanes: 2013)
     7.  patofisiologi penyakit kusta
                   Setelah M. leprae masuk ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan seseorang.
    Respon tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas selular (cellular mediated immune) paien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit berkembang kea rah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kea rah lepromatosa.M. leprae berpredileksi di daerah-daerah yang relative lebih dingin, yaitu daerah akral dengan vaskularisasi yang sedikit.
                                 Derajat penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon imun pada tiap pasien berbeda.Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut sebagai penyakit imunologik.(Putu alit: 2013)
    8.  Diagnosis
                  Penyakit kusta adalah penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium leprae) dasar yang bersifat intraseluler obligat. Saraf tepi/perifer sebagai afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagain atas , kemudian dapat ke organ tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Atas dasar definisi tersebut, maka untuk mendiagnosis kusta dari kelainan yang berhubungan dengan gangguan saraf tepidan kelainan yang tampak pada kulit. Untuk menetapkan diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda cardinal (cardinal signs), yaitu:
    1.    Kelainan lesi kulit
    2.    Penebalan saraf tepi disertai gangguan fungsi saraf
    3.    Adanya basil tahan asam (BTA) dalam kerokanjaringan kulit(slit skin smear).(Kemenkes RI: 2012)
    9.  Gejala dan tanda
                   Gejala klinis timbul sesuai derajat imunitas selular seseorang.Bila imunitas baik, maka manifestasi klinis yang muncul lebih mengarah pada tipe tuberkuloid.Sementara jika sistem imun buruk, manifestasi klinis lebih mengarah pada tipe lepromatosa. Ridley dan Jopling membagi tipe klinis lepra menjadibeberapa kelas sebagai berikut:




    Gambar 3. Spektrum Klinis Lepra Berdasarkan Klasifikasi Ridley-Jopling
                   Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous polar (LL) merupakan tipe yang stabil dan tidak mungkin berubah.Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid borderline (BB), dan borderline lepramatous (BL) merupakan bentuk yang tidak stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat imunitas.Tipe indeterminate (I) tidak dimasukkan ke dalam spektrum.Pada fase ini, kemungkinan untuk kembali sembuh sebesar 70%. Sementara 30% sisanyakemungkinan dapat berkembang menjadi tipe-tipe di dalam spektrum diatas(yohanes: 2013)
          Tiga gejala utama (cardinal sign) penyakit kusta adalah:
    1.    Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
    Kelainan kulit/ lesi yang dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema) yang mati rasa (anastesi).
    2.    Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
       Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari peradangan saraf tepi kronis. Gangguan fungsi saraf bias berupa:
    a.    Gangguan fungsi sensoris: mati rasa
    b.    Gangguan fungsi motoris: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan otot
    c.Gangguan fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak
    3.    Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (klit skins smear ),(kemenkes RI:2012).
    10.  Faktor resiko
                  Kelompok yang berisiko tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi dari wanita, (ayu Irma: 2013)
    11. Klasifikasi kusta
                     Pada tahun 1980, WHO membagi lepra menjadi tipe multibasilar (MB) dan   pausibasilar (PB).
    Gambar 4. Perbandingan Klasifikasi Ridley-Jopling dengan Klasifikasi WHO
                        Klasifikasi WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari pemeriksaan slit skin smear.Tipe TT dan BT memiliki jumlah BTA yang rendah oleh karena itu diklasifikasikan ke dalam pausibasilar.Sementara tipe BB, BL, dan LL memiliki jumlah BTA yang tinggi sehingga diklasifikasikan ke dalam multibasilar.
          Secara klinis, sifat lesi (jumlah, morfologi, distribusi, permukaan, anestesia) dan kerusakan saraf dapat mengarahkan kita untuk menegakkan diagnosis kearah tuberkuloid atau lepromatosa.  Semakin ke arah tuberkuloid, biasanya ditandai dengan lesi berbentuk makula saja / makula yang dibatasi infiltrat dengan permukaan kering bersisik, anestesia jelas, berjumlah 1-5, tersebar asimetris, kerusakan saraf biasanya terlokalisasi sesuai letak lesinya. Di sisi lain, semakin mengarah ke tipe lepromatosa,lesi akan lebih polimorfik (makula, infiltrat difus, papul, nodus) dengan permukaan yang halus berkilat, anestesia tidak ada sampai tidak jelas, berjumlah banyak (>5 lesi), dan biasanya tersebar simetris, kerusakan saraf biasanya lebih luas.
         Gambar 5.Spektrum Klinis dan Respon Imunologi Berdasarkan Tipe Lepra.
                       Karena pemeriksaan slit skin smear tidak selalu tersedia, maka pada tahun 1995 WHO menyederhanakan klasifikasi klinis kusta berdasarkan lesi di kulit dan kerusakan saraf.
    Tabel 1. Kriteria Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)

    Pausibasilar (PB)
    Multibasilar (MB)
    Lesi Kulit
    (makula datar,
    Papul yang meninggi,
     nodus)
    -       Jumlah : 1-5 lesi
    -       Warna : Hipopigmentasi / eritema
    -       Distribusi : asimetris
    -       Anestesia : jelas
    -       Jumlah : 1-5 lesi
    -       Distribusi:simetris
    -       Anestesia:kurang jelas

    Kerusakan Saraf
    -       Hanya satu cabang saraf
    -       Banyak cabang saraf
               Disamping gejala klinis dari anamnesis, penting untuk melalukan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis lepra. Dari inspeksi, lesi kulit yang timbul pada lepra mirip dengan lesi kulit pada penyakit-penyakit lainnya (misal : dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis alba/rosea, dermatitis, skleroderma, dll) sehingga lepra dijuluki sebagai the greatest imitator. Ada tidaknya baal yang dapat diketahui melalui tes sensitivitas cukup membantu penyingkiran diagnosis banding.Tes sensitivitas dilakukan menggunakan kapas (untuk rangsang raba), jarum (untuk rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air panas dan hinggin (untuk rangsang suhu).
          Tidak hanya komponen sensorik, komponen motorik dan otonom saraf perifer harus diperiksa pada pasien dengan memiliki lesi kulit yang dicurigai kusta.Fungsi otonom dapat dinilai denganmemperhatikan ada atau tidaknya dehidrasi pada lesi atau diperiksa dengan bantuan tinta gunawan. Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan cara palpasi bisanya mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang bersangkutan. Untuk itu perlu untuk melakukan voluntary muscle test. Saraf perifer yang diperiksa antara lain : n. fasialis, n. aurikularis magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea lateralis, dan n. tibialis posterior.(yohanes: 2013)
    12. Tingkat kecacatan
    Tabel 2. Derajat kecacatan
    Cacat pada tangan dan kaki
    Tingkat 0
    Tidak ada gangguan sensibilitas, kerusakan dan deformitas
    Tingkat 1
    Ada gangguan sensibilitas TANPA kerusakan atau deformitas
    Tingkat 2    
    Terdapat kerusakan atau deformitas
    Cacat pada mata
    Tingkat 0
    Tidak ada kelainan/kerusakan
    Tingkat 1
    Ada kelainan/kerusakan pada mata yang tidak terlihat, visus sedikit berkurang
    Tingkat 2
    Ada kelainan mata yang terlihat (lagotalmus, iritis, kornea keruh) dan/atau visus sangat terganggu
         (yohanes: 2013)
    13. Pencegahan
                  Pencegahan secara umum adalah mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum kejadian.Dalam mengambil langkah-langkah untuk pencegahan, haruslah didasarkan pada data / keterangan yang bersumber dari hasil analisis epidemiologi atau hasil pengamatan / penelitian epidemiologis.
     Ada tiga tingkatan pencegahan penyakit menular secara umum yakni:
    1.  Pencegahan tingkat pertama (primary prevention)
    Sasaran ditujukkan pada faktor penyebab, lingkungnan serta faktor pejamu.
    a.  Sasaran yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuanuntuk mengurangi penyebab atau menurunkan penngaruh penyebab serendah mungkin dengan usaha antara lain : desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangnkan mikro-organisme penyebab penyakit, menghilangkan sumber penularan maupun memutuskan rantai penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga dalam rangka memutus rantai penularan, serta mengurangi / menghindari perilaku yang dapat meningkatkan resiko perorangan dan masyarakat.
    b.  Mengatasi / modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti peningkatan air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta bentuk pemukiman lainnya.Meningkatkan daya tahan pejamu melalui perbaikan status gizi, status kesehatan umum dan kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan
    c.  khusus lainnya serta usaha menghindari pengaruh faktor keturunan dan peningkatan ketahanan fisik melalui olah raga kesehatan.
    2.  Pencegahan tingkat kedua (secondary prevention)
                            Sasaran pencegahan ditujukan pada mereka yang menderita atau yang dianggap menderita (suspek) atau yang terancam akan menderita (masa tunas). Adapun tujuan tingkat kedua ini meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi, antara lain :
    a.  Pencarian penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan uasaha surveillans penyakit tertentu, pemeriksaan berkala serta pemeriksaan kelompok tertentu (calon pegawai, ABRI, mahasiswa dan lain sebagainya), penyaringan (screening) untuk penyakit tertentu secara umum dalam masyarakat, serta pengobatan dan perwatan yang efektif.
    b.  Pemberian chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai berada pada proses prepatogenesis dan patogenesis penyakit tertentu.
    3.  Pencegahan tingkat ketiga (thretery prevention)
                     Sasaran pencegahan adalah penderita yang menderita penyakit tertentu dengan tujuan mencegah jangansampai mengalami cacat atau kelainan permanent, mencegah bertambah parahnya suatu penyakkit atau mencegah kelainan akibat penyakit tersebut.Pada tingkat ini juga dilakukan usaha rehabilitasi untuk mencegah terjadinnnya komplikasi dari penyembuhan suatu penyakit tertentu. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian fungsi fisik, psikologis dan sosial seoptimal mungkin,(nurul aida: 2013).
    14.  Pengobatan
                      Kemoterafi kusta dimulaipada tahun 1949 dangan DDS sebagaiobat tunggal (monoterafi DDS).DDS harus diminum selama 3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup. Kekurangan monoterapi DDSadalaah terjadinya resistensi, timbulnay kumanpresisters serta terjadinya defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan resistensi terhadapDDS.
            Oleh seba itu pada tahun 1982 WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB.
    1.  Pasien pausibasiler
         Dewasa pengobatan bulanan hari pertama (obat diminum di depan petugas)
    a.      Pengobatan rimfasin @ 300 mg (600 mg)
    b.      1 tablet dapson/ DDS  100 mg
                Satu blister untuk 1 bulan.dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan
    2.  Pasien multibasiler (MB)
             Dewasa
       Pengobatan bulanan hari pertam (obat diminum didepan petugas)
    a.  2 kapsul rimfasin @ 300 mg (600 mg)
    b.  3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)
    c.  1 tablet dapson/ DDS 100 mg
    Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan.
    3.  Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)
    Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum didepan petugas)
    a.  2 kapsul rimfasin  150 mg dan 300 mg
    b.  1 tablet dapson/ DDS 50 mg
     Pengobatan harian :hari ke 2- 28 hari yaitu:1 tablet dapson/ DDS 50 mg. 1 blister untuk satu bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.
    4.  Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)
    1.    Pengobatan bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
    a.  2 kapsul rimfasin 150 mg dan 300 mg
    b.  3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
    c.  1 tablet dapson/ DDS 50 mg
    2.    Pengobatan harian
    a.  1 tablet lampren 50 mg selang sehari
    b.  1 tablet dapson/DDS 50 mg
       Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan12 blister yang diminum selama 12-18 bulan. Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister. Dosis anak disesuaikan dengan berat badan:
    1.  Rimfasin: 10-15 mg/kgBB
    2.  Dapson: 1-2 mg/ kgBB
    3.  Lampren: 1 mg/kgBB
    15. Epidemiologi kusta
    a.  Masalah epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularannya pun masih belum diketahui pasti hanya berdasarkn anggapanklasik yaitu kontaklangsung antar kulit yang lama dan erat. Anggapan yang kedua adalah inhalasisebab Mycobakterium leprae yang masih hidup beberapa hari dalam dahak (droplet). Masa tunasnya bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa tahun, rata-rata 3-5 tahun. (isnoor matsyah dalam kokasih: 2011)
             Secara deskriptif epidemilogi kusta digambarkan menurut tempat, waktu dan orang.
    Gambaran epidemiologisnya sebagai berikut:
    1.    Distribusi menurut umur
    Penyakit kusta jarang ditemukan pada bayi.Angka kejadian penyakit ini meningkat sesuai dengan umur dengan puncak umur 10-20 tahun dan kemudian menurun.prevalensinya juga meningkat sesuai umur dengan puncak umur 30-50 tahun dan kemudian secara perlahan-lahan menurun juga.
    2.    Distribusi menurut jenis kelamin
    Insiden maupun prevalensi pada laki-laki per banyak dari pada perempuan kecuali di Afrika dimana perempuan lebih banyak menderita kusta dari paada laki-laki. Faktorfisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan serta factor infeksi dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta(isnoor dalam risti: 2011)
    3.  Tempat (place)
    Penderita ksuta tersebar diseluruh dunia.Jumlah yang tercatat 888.340 orang pada tahun 1997. Ada yang berpendapat penyakit ini berasal dari Asia tengah kemudianmenyebar ke Mesir, Eropa, Asia, dan Amerika .termasuk Indonesia, diperkirakan penyakit ini dibawa dan terbawa oleh orang-orang cina dan india yang melakukan perdagangan di Indonesia. Beberapa factor yang dapat berperaan dalam kejadian dan penyebaran kusta yaitu: iklim (panas dan lembab), diet, status gizi, status social ekonomi dangenetic. Perkiraan jumlah penderita kusta baru di dunia akhir tahun 2009 adalah 244.796 kasus barudengan kasus baru terbanyak di asia tenggara dengan jumlah penderita baru 166.155 kasus baru, sedangkan penderita baru di Indonesia akhir tahun 2009 mencapai 17.260 kasus baru dengan penyumbang tertinggi ke-3.
    4.    Waktu (line)
    Pada tahun 2005 terbanyak 17 negara melaporkan 1000 atau lebih kasus baru, yang semuanya menyumbang 94% kasus kusta baru di dunia. Secara global terjadi penurunan kasus baru, tetapi sejak tahun 2002 terjadi peningkatan kasus baru, tetapi sejak tahun 2002 terjadi peningkatan kasus baru dibeberapa Negara seperti Republic Demokrasi Kongo,philipina dan Indonesia. Pada tahun 2005 indonesia menempati urutan ke tiga dalam jumlah kasus baru setelah Brazil  dan india. Hingga kini Indonesia masih menempati urutan yang sama, (WHO: 2010).
    B.   Tinjauan umum
    1.    Kepadatan hunian
                Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubelan  (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena selainmenyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga  bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama kusta akan mudah menular  kepada anggota keluarga yang lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang di dalam rumahnya.rata-rata luas rumah minimal 10 m2/orang, luas kamar tidur minimal 8 m2 dihuni tidak lebih dari 2 orang,kecualianak dibawah umur  5 tahun. Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian kusta.  Menurut penelitian disuatu daerah di Indonesia yang menderita kusta karena kepadatan hunian sebanyak 68,6%dan yang tidak sebanyak 31,4%.(yuldan faturrahman:2010).
    2.    Pengetahuan
    Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah melakukan penginderaan terjadi melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Dengankata lain semakin tinggi pendidikan seseorang semakin tinggi pula pengetahuan seseorang.
    Banyaknya penderita kusta  di Indonesia tidak luput dari factor  minimnya pengetahuan,kurangnya pengetahuan penderita terhadap kusta, baik dari segi pencegahan maupun pengobatanyasalah satu indikasi meningkatnya kusta di Indonesia. Tahun 2012 ditemukan 540 penderita kusta baru dengan proporsi penderita Multibasiler masih tinggi (75,19%) dan proporsi penderita cacat tingkat II masih diatas standar nasional (8,37%). Kondisi ini menggambarkan proses penularan kusta masih terjadi di masyarakat. Minimnya pengetahuan tentang kusta menyebabkan penderita terlambat berobat sehingga menimbulkan kecacatan.Minimnya pengetahuan juga menyebabkan penderita tidak menyadari pentingnya pengobatan. Di indonesiasendiri berdasarkan suatu penelitian ada 40% penderita yang mempunya pengetahuan minim tentang kusta menderita penyakit ini.(sulastri: 2011)
    3.    Personal hygiene
    Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri dangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Hal-hal yang sangat berpengaruh itu di antaranya kebudayaan , sosial, keluarga, pendidikan, persepsi seseorang terhadap kesehatan, serta tingkat perkembangan.
    Jika seseorang sakit, biasanya masalah kebersihan kurang diperhatikan. Hal ini terjadi karena kita menganggap masalah
    kebersihan adalah masalah sepele, padahal jika hal tersebut dibiarkan terus dapat mempengaruhi kesehatan secara umum.
    Personal Hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat.Kebersihan seseoang adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseoran untuk kesejahteraan fisik dan psikis.
    Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk  memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
    psikis. Tujuan dilakukan personal hygiene adalah meningkatkan derajat kesehatan seseorang, memelihara kebersihan diri seseorang, memperbaiki personal hygiene yang kurang, mencegah penyakit, meningkatkan percaya diri seseorang, menciptakan keindahan. Personal hygiene termasuk Perawatan kulit kepala dan rambut, Perawatan mata,Perawatan hidung, Perawatan telingga, Perawatan kuku kaki dan tangan,Perawatan genetalia,Perawatan kulit seruruh tubuh, Perawatan tubuh secara keseluruhan
    sebagian penderita kusta menderita kusta berdasarkan suatu penelitian karena minimnya personal hygienenya dalam hal ini adalah  frekwensi mandinya 1 kali dalam sehari dalam perawatan diri secara keseluruhan. Personal hygiene penderita kusta sebagian kecil buruk ,berdasarkan suatu penelitian masih ada  yaitu sebanyak 32,0% (edi wibowo: 2013)
    4.    Perilaku/ sikap
    Perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya.Banyak penderita yang perilaku sehatnya memang dibawah standar kesehatan sehingga memiicu perkembangan mycobacterium leprae.perilaku penghuni dengan kategori kurang sebesar 81,1% (Gandhi kusyoko:2010)

     BAB III
    KERANGKA KONSEP

    A. Dasar pemikiran variabel penelitian
                  Penyakit merupakan suatu fenomena kompleks yang berpengaruh negatife terhadap kehidupan manusia. Kepadatan hunian, pengetahuan yang minim, personal hygiene yang buruk dan perilaku merupakan penyebab bermacam-macam penyakit seperti penyakit kusta,(isnoor matsyah:2012).
           Berdasarkan tinjauan pustaka bahwa kejadian penyakit kusta disebabkan oleh padatnya suatu hunia, minimnya pengetahuan, personal hygien yang buruk dan perilaku.Factor-faktor yang mempengaruhi terjadinya kusta pada masyarakat.
    Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan berjubelan  (overcrowded). Hal ini tidak sehat karena selain menyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga  bila salah satu anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama kusta akan mudah menular  kepada anggota keluarga yang lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang di dalam rumahnya.rata-rata luas rumah minimal 10 m2/orang, luas kamar tidur minimal 8 m2 dihuni tidak lebih dari 2 orang,kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
    1.  Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam kejadian kusta.(yuldan faturrahman:2010)
    2.  Banyaknya penderita kusta  di Indonesia tidak luput dari factor  minimnya pengetahuan,kurangnya pengetahuan penderita terhadap kusta, baik dari segi pencegahan maupun pengobatanya salah satu indikasi meningkatnya kusta di Indonesia.88% masyarakat tidak mengetahui cara penularan kusta dan 56% masih beranggapan penyakit ini adalah penyakit keturunan Kondisi ini menggambarkan proses penularan kusta masih terjadi di masyarakat. Minimnya pengetahuan tentang kusta juga menyebabkan penderita terlambat berobat sehingga menimbulkan kecacatan. Minimnya pengetahuan juga menyebabkan penderita tidak menyadari pentingnya pengobatan.(sulastri: 2011)
                   Berdasarkan latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat pengetahuan masyarakat di Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar mengenai kusta.
                   Dalam kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu sendiri saangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan seperti:
    1.    Hal-hal yang sangat berpengaruh itu di antaranya kebudayaan,sosial, keluarga, pendidikan, persepsi seseorang terhadap kesehatan, serta tingkat perkembangan.
    Jika seseorang sakit, biasanya masalah kebersihan kurang diperhatikan.Hal ini terjadi karena kita menganggap masalah kebersihan adalah masalah sepele, padahal jika hal tersebut dibiarkan terus dapat mempengaruhi kesehatan secara umum.
    Personal Hygiene berasal dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti sehat.Kebersihan seseoang adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan kesehatan seseoran untuk kesejahteraan fisik dan psikis.
    Personal hygiene adalah suatu tindakan untuk  memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
    psikis. Tujuan dilakukan personal hygiene adalah meningkatkan derajat kesehatan seseorang, memelihara kebersihan diri seseorang, memperbaiki personal hygiene yang kurang, mencegah penyakit, meningkatkan percaya diri seseorang, menciptakan keindahan. Personal hygiene termasuk Perawatan kulit kepala dan rambut, Perawatan mata,Perawatan hidung, Perawatan telingga, Perawatan kuku kaki dan tangan,Perawatan genetalia,Perawatan kulit seruruh tubuh, Perawatan tubuh secara keseluruhansebagian penderita kusta menderita kusta berdasarkan suatu penelitian karena minimnya personal hygienenya dalam hal ini adalah  frekwensi mandinya 1 kali dalam sehari dalam perawatan diri secara keseluruhan. Personal hygiene penderita kusta sebagian kecil buruk ,berdasarkan suatu penelitian masih ada  yaitu sebanyak 32,0% (edi wibowo: 2013)
    2.    Perilaku merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya. Banyak penderita yang perilaku sehatnya memang dibawah standar kesehatan sehingga memiicu perkembangan Mycobacterium Leprae. perilaku penghuni dengan kategori kurang sebesar 81,1% (Gandhi kusyoko:2010).



    B.  

    Kepadatan hunian
    Kerangka konsep

    Pengetahuan

    PENYAKIT KUSTA
     





    Personal Hygiene
                                                                     

    perilaku

    umur

    Jenis kelamin
     







    Keterangan:
                                                 : variable independent
                                                 : variable dependent
                                                 : variable yang diteliti
                                                 : variable yang tidak diteliti
                                    Gambar 1. Bagian kerangka konsep






    C.   Definisi oprasional dan kriteria objektif
    1.  Kusta
    Definisi oprasional:
                            Kusta dalam penelitian ini adalah apabila sampel mengalami    Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/ lesi yang dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema)
    yang mati rasa (anastesi), Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.(kemenkes RI:2012).

    2.  Kepadatan hunian
    Definisi oprasional:
    Kepadatan hunian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah apabila manusia menempati suatu batas ruang tertentu dengan jumlah orang yang banyak,dalam hal ini standar luar ruangan 8 m2 tidak boleh dihuni lebih dari 2 orang atau 3 kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
    Kriteria Objektif:
    padat             :            Apabila sampel tinggal dalam ruangan sempit atau kurang dari  8 m2 dan dihuni lebih dari dua orang atau  banyak orang
    tidak padat   :     Apabila sampel tidak tinggal dalam ruangan sempit atau kurang dari  8 m2 dan dihuni tidak lebih dari 2 orang
    3.  pengetahuan
    Definisi oprasional:
                  Pengetahuan yang dimaksud adalah pengetahuan yang dimiliki oleh penderita mengenai penularan, penyebab, pengobatan, dan pencegahan terjadinya kusta
    Kriteria Objektif:
    Cukup             :  Apabila jawaban penderita mengenai pengetahuan tentang kusta ≥ 60% dari total nilai jawaban dari seluruh pertanyaan yang disusun dan diberi bobot
     Kurang           :  Apabila jawaban penderita mengenai pengetahuan tentang kusta < 60% dari total nilai jawaban dari seluruh pertanyaan yang disusun dan diberi bobo
    4.  Personal hygiene
    Definisi oprasional:
                  Personal hygiene yang dimaksud adalah tindakan untuk  memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk menjaga  kesejahteraan fisik dan psikis dengan menjaga frekuensi mandi minimal 2 kali sehari
    Kriteria Objektif:
    Risiko tinggi       :    Apabila penderita memiliki frekuensi mandi kurang dari 2 kali sehari.
    Risiko rendah   :  Apabila penderita memiliki frekuensi mandi 2 kali sehari.
    5.  Perilaku
    Definisi oprasional:
                  Perilaku dalam penelitian ini adalah respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya yang berhubungan dengan penyakit kusta.
    Kriteria Objektif:
    Risiko tinggi        :      Apabila penderita tidak mememiliki respon atau reaksi terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya?
    Risiko rendah  :  Apabila penderita memiliki respon atau reaksi terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya?
    D.   Hipotesis penelitian
    1.    Kepadatan hunian merupakan faktor risiko kejadian penyakit kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid?
    2.    Pengetahuan merupakan faktor risiko kejadian penyakit kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid?
    3.    Personal hygiene merupakan faktor risiko kejadian penyakit kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid?
    4.    Perilaku merupakan faktor risiko kejadian penyakit kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid?
    BAB IV
    METODE PENELITIAN

    A.   Jenis Penelitian
    Jenis penelitian yang digunakan adalah observasional dengan pendekatan cross sectional study dengan tujuan untuk mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta dengan kepadatan hunian, pengetahuan, personal hygiene dan perilaku,yang diamati pada periode waktu yang sama.
    B.   Lokasi
    Penelitian ini dilaksanakan di rumah sakit khusus tajuddin chalid
    C.   Waktu Penelitian
    dilakukan pada bulan  juni tahun 2014.
    D.   Populasi dan Sampel
    1.  Populasi
    Populasi dalam penelitian adalah semua pasien rawat inap Rumah Sakit Tajuddin Chalid
    2.    Sampel
    Sampel dalam penelitian ini adalah  sebagian pasien rawat inap yang menderita kusta di rumah sakit Tajuddin Chalid dengan menggunakan pengambilan sampel purpossive sampling dengan besar kriteria sample ditentukan sebagai berikut :
    1.    Bersedia menjadi sample
    2.    Pasien rawat inap
    3.    Berusia di atas 17 tahun
    4.    Tidak cacat mental

    E.   Cara Pengumpulan Data
    Pengumpulan data dilakuk berdasarkan sumber data yang digunakan sebagai berikut :
    1.    Data Primer
    Data yang diperoleh secara langsung dengan melakukan wawancara langsung secara terstruktur kepada sampel terpilihmenggunakan bantuan kuesioner yang berisikan daftar pertanyaan sehubungan dengan variabel penelitian.
    2.    Data Sekunder
    Merupakan data hasil olahan yang digunakan peneliti sebagai data penunjang penelitian dengan melakukan penelusuran beberapa literatur yang menunjang dan penggunaan data mahasiswa di tingkat sekolah dan instansi terkait.
    F.    Cara Pengolahan Data
    Data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan bantuan komputer program SPSS dengan langkah-langkah dalam pengolahan data adalah sebagai berikut :
    1.  Tahap editing dilakukan dengan tujuan agar data yang diperoleh merupakan informasi yang benar. Pada tahap ini dilakukan dengan memperhatikan kelengkapan jawaban dan jelas tidaknya jawabannya.
    2.  Pengkodean dimaksudkan untuk menyingkat data yang diperoleh agar memudahkan mengolah dan manganalisis data dengan memberikan kode – kode dalam bentuk angka.
    3.  Pembuatan/pemindahan hasil koding kuesioner ke daftar koding (master tabel)
    4.  Tabulasi. Pada tahap ini data yang sudah diolah dengan komputer disajikan dalam bentuk tabel distribusi frekuensi dan tabel silang.
    G. Analisis dan Penyajian Data
    a.  Analisis Data
    1.    Analisis Univariat
    Untuk menampilkan distribusi frekuensi persentase dari masing-masing variable dalam bentuk tabel.
    2.    Analisis Bivariat
    Dilakukan untuk mengetahui hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan menggunakan uji statistic chi-squar dengan tingkat kemaknaan (α 0.05.) yang menggunakan  program SPSS.




                                         Tabel 1. Kontigensi 2x2             
    Variabel independen
    Variabel Dependen
    Jumlah
    Katagori I
    Katagori II
    Katagori 1
    A
    B
    a+b
    Katagori 2
    C
    D
    c+d
    Total
    a+c
    b+d
    a+b+c+d
                Sumber : fatri wira dalam Sugiyono, 2012
    Dengan rumus :Chi_Squar
    Keterangan :
               X2 = Hasil perhitungan yang dikonfirmasi dengan tabel chi_squar.
      = nilai observasi(frekuensi yang diperoleh).
      = nilai expected (frekuensi harapan).
    Interpretasi : Bermakna bila hitung > tabel (3,841) atau p < α 0,05.
    Rumus skala Guttman
    I=R/K              R= skor tinggi - skor rendah
    Skor tinggi                 = 1
    Skor rendah              = 0
    Kategori                     = 2
    Jumlah pertanyaan = 10


    Jumlah skor tinggi   = jumlah pertanyaan x jumlah skor tinggi
                                        = 10 x 1
                                        = 10 =100%
    Skor rendah              = jumlah pertanyaan x jumlah skor rendah
                                        = 10 x 0
                                        = 0 = 0%
    R = 100% - 0%
        = 100%
    I   = R/K
        = 100% _/ 2
        = 50%
    Jadi nilai I = 50%
    Cukup, Apabila nilai I ≥ 50%
    Kurang, Apabila nilai I < 50%_
    H.   Penyajian Data
    Data yang telah diolah kemudian disajikan dalam bentuk tabel berupa tabel analisis univariat yang memberi gambaran dari masing-masing variabel penelitian dan tabel silang analisis bivariat untuk meninjau hubungan variabel dependen dan independen disertai penjelasan.



    BAB V
    HASIL DAN PEMBAHASAN
    A.    karakteristik Responden
    Data penelitian yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh dengan menggunakan daftar pertanyaan (kuesioner) yang telah disebarkan menajadi contact person responden melakukan perawatan penyakit kusta di rumah sakit kusta di rumah sakit Tajudin Chalid Makassar Sulawesi selatan tahun 2014. Sampai dengan batas akhir pengembalian yakni tangggal 11 Juni 2014, dari 45 kuesioner yang disebarkan, 40 kusioner yang kembali dan 5 kuesioner yang tidak kembali. Tingkat pengendalian (response rate) yang diperoleh adalah 89% sedangkan sisanya 11% tidak kembali. Hal ini diakibatkan adanya responden yang acuh pada saat penyebaran kuesioner dilakukan, akibatnya tidak sempat memberikan kuesioner sampai batas waktu yang ditentukan.
    Data demografi responden dalam tabel 5.1 menajkan informasi umm mengenai umur responden yang ditemukan di lapangan. Sebagian responden yang terkena penyakit kusta berumur antara 47-70 tahun yaitu berjumlah 18 orang. Dari 18 orang ini ada 17 orang (94.4%) yang sedang diobati dan satu orang (5.6%) telah selesai diobati atau sehat. Adapun yang berumur 35-45 tahun terdapat 12 responden dan sisa nya berumur <35 tahun yaitu sebesar 10 responden.
    Tabel 5.1 Karakteristik Responden Penyakit Kusta Berdasarkan Umur Di Rumah Skit kusta Tajudin Chalid Makassar
    Sulawesi Selatan Tahun 2014
    Umur
    Kejadian Kusta
    Total
    Sehat
    Masa Pengobatan

    F
    %
    F
    %
    f
    %
    < 35 tahun
    35-45 tahun
    45-70 tahun
    0
    1
    1

    0
    8.3
    5.6
    10
    11
    17
    100
    91.7
    94.4
    10
    12
    18
    100
    100
    100
    Total
    2
    5
    38
    95
    40
    100
    Sumber : data primer diolah, 2014
    Tabel 5.2 Karakteristik Responden Penyakit Kusta Berdasarkan Agama Rumah Sakit Kusta Tajudin Chalid
    Makassar Sulawesi Selatan
    Umur
    Kejadian Kusta
    Total
    Sehat
    Masa Pengobatan

    F
    %
    F
    %
    F
    %
    Islam
    Kristen
    Hindu
    Budha
    2
    0
    0
    0
    5.7
    0
    0
    0
    33
    1
    1
    3
    94.3
    100
    100
    100
    35
    1
    1
    3
    100
    100
    100
    100
    Total
    2
    5
    38
    95
    40
    100
    Sumber : data primer diolah, 2014
    Tabel 5.2 menggambarkan bahwa mayoritas responden beragama islam, dari 40 responden terdapat 35 orang, 3 orang beragama Budha, dan yang beragama Hindu dan kristen mempunyai jumlah yang sama yaitu masing- masing berjumlah 1 orang. Dari 35 irang yang beragama Islam terdapat 33 orang yang masih menjalani pengobatan dan 2 orang sudah tergolong sehat.
    Tabel 5.3 Karakteristik Responden Penyakit Kusta Berdasarkan Pekerjaan di Rumah Sakit Kusta Tajudin Chalid
    Makassar Sulawesi Selatan tahun 2014
    Umur
    Kejadian Kusta
    Total
    Sehat
    Masa Pengobatan

    F
    %
    F
    %
    F
    %
    IRT
    PNS
    Tani
    Wiraswasta
    2
    0
    0
    0
    11.7
    0
    0
    0
    15
    3
    9
    11
    88.3
    100
    100
    100
    17
    3
    9
    11
    100
    100
    100
    100
    Total
    2
    5
    38
    95
    40
    100
    Sumber : data primer diolah, 2014
    Tabel 5.3 menggambarkan karateristik responden penyakit kusta berdasarkan pekerjaan bahwa sebagian responden yang terkena penyakit kusta adalah bekerja sebagai ibu rumah tangga, yaitu sebanyak 17 orang, PNS berjumlah 3 orang, Tani berjumlah 9 orang dan wiraswasta berjumlah 11 orang.
    B.   Hasil Penelitian
    1.    Analisis Univariat
    Analisis univariat dalam penelitian adalah untuk meneliti frekensi terhadap variabel penelitian ini terdiri atas kepadatan huniaan, pengetahuan, personal hygiene dan perilaku sehat ang dapat dijelasskan sebagai berikut :
    a.    Kepadatan hunian
    Tabel 5.4 menggambarkan kepadatan hunian responden bahwa sebagian besar responden menempati ruang yang padat yaitu sebanyak 20 orang (70%), sebaliknya ada 12 orang (30%) yang menempati tempat tinggal yang tidak padat.
    Tabel 5.4 Kepadatan Hunian Responden di
    Rumah Sakit Kusta Tajudin Chalid
    Makassar Sulawesi Selatan
    Tahun 2014

    Kepadatan hunian
    Frekuensi
    %
    Tidak Padat
    Padat
    11
    29
    27.5
    75.5
    Total
    40
    100
    Sumber : data primer diolah, 2014
    b.    Tanggapan responden terhadap pengetahuan
    Tabel 5.5 Tanggapan Responden Terhadap Pengetahuan
    di Rumah Sakit Kusta Tajudin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014

    Pengetahuan
    Frekuensi
    %
    Kurang
    Cukup
    5
    35
    12.5
    87.5
    Total
    40
    100
    Sumber : data primer diolah, 2014
    Tabel 5.5 menggambarkan tanggapan responden terhadap pengetahan bahwa sebagin esar responden mempunyai pengetahuan yang cukup yaitu sebanyak 36 orang (90%), dan sebaliknya ada 4 orang (10) yang mengetahui pengetahan yang kurang.
    c.    Tanggapan responden tentang personal hygiene
    Tabel 5.6 menggambarkan tanggapan responden terhadap personal hygiene bahwa sebagian responden memilih personal hygiene yang berisiko tinggi yaitu sebanyak 36 orang (90%), sebaliknya ada 4 orang (10%) yang mempunyai personal hygiene dengan resiko rendah.
    Tabel 5.6 Tanggapan responden Terhadap Personal hygiene di rumah sakit kusta Tajudidin Chalid Makassar
    Sulawesi Selatan tahun 2014
    Perilaku
    Frekuensi
    %
    Resiko rendah
    Resio tinggi
    3
    37
    7.5
    92.5
    Total
    40
    100
    Sumber : data primer diolah, 2014
    d.    Tanggapan responden terhadap perilaku sehat
    Tabel 5.7 Tanggapan responden terhadap perilaku sehat di Rumah sakit Kusta Tajuddin Chalid Makassar
     Sulawesi Selatan Tahun 2014
    Perilaku sehat
    Frekuensi
    %
    Resiko rendah
    Resio tinggi

    38
    5
    95
    Total
    40
    100
    Sumber : data primer diolah, 2014
    Tanggapan responden terhadap perilaku sehat bahwa sebagian responden mempunyai perilaku sehat dengan resiko tinggi yaitu sebanyak 38 orang (95%), sebaliknya ada 2 orang (5%) responden yang mempunyai perilaku sehat dengan resiko rendah.


    2.    Analisis Bivariat
    Anaisis dalam penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara kepadatan hunian, pengetahuan, personal hygiene dan perilaku sehat terhadap kejadian penyakit kusta.
    a.    Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta tajuddin Chalid Maksar Sulaesi selatan Tahun 2014
    Tabel 5.8 Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta tajuddin Chalid Maksar
    Sulawesi selatan Tahun 2014
    Kepadatan Hunian
    Kejadian Kusta
    Total
    Sig.
    P Value
    Sehat
    Masa Pengobatan

    F
    %
    F
    %
    f
    %
    Alfa (0.05)
    Tidak padat
    1
    9.1
    10
    90.9
    11
    100

    Padat
    1
    3.4
    28
    96.6
    29
    100
    0.005
    Total
    2
    5
    38
    95
    40
    100

    Sumber : data primer diolah, 2014
    Tabel 5.8 menggambarkan hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta di rumah sakit Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi selatan Tahun 2014 bahwa mayoritas responden menempati ruang yang padat yaitu sebanyak 29 orang, terdiri dari 28 responden yang masih berobat dan 1 orang sudah dinyatakan sehat.
    Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai p(0.005) < (0,05) ini berarti ada hubungan yang  signifikan antara kepadatan hunuan dengan kejadian kusta   pada Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi selatan Tahun 2014
    b.    Hubungan pengetahuan dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi selatan Tahun 2014
    Tabel 5.9 Hubngan antara pengetahuan dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta tajuddin Chalid Maksar
    Sulawesi selatan Tahun 2014
    pengetahuan
    Kejadian Kusta
    Total
    Sig.
    P Value
    Sehat
    Masa Pengobatan

    F
    %
    F
    %
    f
    %
    Alfa (0.05)
    Kurang
    1
    20
    4
    80
    5
    100

    Cukup
    1
    2.9
    34
    97.1
    35
    100
    1,000
    Total
    2
    5
    38
    95
    40
    100

    Sumber : data primer diolah, 2014
    Tabel 5.9 menggambarkan hubungan pengetahuan dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makssar Sulawesi Selatan tahun 2014 bahwa dari 40 responden ada 35 orang yang berpengetahuan cukup, terdiri atas 34 orang yang masih menjalani masa pengobatan, dan 1 orang sudah dinyatakan sembuh.
    Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai p(1,000)>(0,05) tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan responden dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan tahun 2014.
    c.    Hubungan personal hygiene dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014
    Tabel 5.10 Hubungan personal hygiene dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014
    Personal hygiene
    Kejadian Kusta
    Total
    Sig.
    P Value
    Sehat
    Masa Pengobatan

    F
    %
    F
    %
    f
    %
    Alfa (0.05)
    Resiko rendah
    1
    33,3
    2
    66.7
    3
    100

    Resiko tinggi
    1
    2.7
    36
    97.3
    37
    100
    0.008
    Total
    2
    5
    38
    95
    40
    100

    Sumber : Data primer diolah, 2014
    Tabel 5.10 menggambarkan adanya hubungan antara personal hygiene dengan kejadian kusta di rumah sakit khusus kusta tajuddin chalid makassr tahun 2014 bahwa umumnya responden mayoritas mempunyai personal hygiene dengan resiko tinggi yaitu 37 orang, yang terdiri dari 36 orang masih menjalani masa pengobatan dan 1 orangnya sudah dikatakan sembuh.sedangkan responden dengan resiko rendah personal hygiene rendah adalah sebanyak 3 orang yang terdiri dari 2 orang masih menjalani masa pengobatan dan 1 orangnya dinyatakan sembuh.
    Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai P (0,008) < 0.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara personal hygiene dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014.
    d.    Hubungan perilaku sehat dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014
    Tabel 5.11 Hubungan perilaku sehat dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin Chalid Makassar
    Sulawesi Selatan Tahun 2014
    Perilaku sehat
    Kejadian Kusta
    Total
    Sig.
    P Value
    Sehat
    Masa Pengobatan

    F
    %
    F
    %
    f
    %
    Alfa (0.05)
    Resiko rendah
    1
    50
    1
    50
    2
    100

    Resiko tinggi
    1
    2.6
    37
    97.4
    38
    100
    0.001
    Total
    2
    5
    38
    95
    40
    100

    Sumber : Data primer diolah, 2014
    Tabel 5.11 menggambarkan hubungan antara perilaku sehat dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014 bahwa mayoritas responden memnpunyai resiko tinggi dari perilaku sehat yaitu sebanyak 38 orang, yaitu terdiri atas 37 responden asih menjalani masa pengobatan dan 1 orang dinyatakan sembuh. Adapun resiko rendah perilaku sehat hanya sebanyak 2 orang yang terdiri atas satu orang telah dinyatakan sehat dan satu orangnya masih menjalani pengobatan.
    Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai P (0,001) < 0,05 dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku sehat dengan kejadian kusta dirumah sakit kusa Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014.
    C.   Pembahasan Hasil Penelitian
    Penelitian ini bertjuan untuk menganalisis hbungan antara kepdatan hunian, pengetahun, personal hygiene dan perilaku sehat terhadap kejadian penyakit kusta di rumah sakit kusta Tajuddin Chalid Makassar sulawesi Selatan tahyn 2014. Secara keseluruhan,  hasil penguji hipotesis dengan menggunakan uji square dapat ddilihat pada tabel 5.12 berikut ini.
    Tabel 5.12 ringkasan hasil penguji hipotesis
    Kode
    Hipotesis
    Hasil
    H1
    Keadatan hunian merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta
    Diterima
    H2
    Pengetahuaan merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta
    Ditolak
    H3
    Personal hygiene merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta
    Diterima
    H4
    Perilaku merupakan faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta
    Diterima
    Sumber : Data primer diolah, 2014
    1.    Hubungan kepadatan hunian dengan kejadian kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta tajuddin Chalid Maksar Sulaesi selatan Tahun 2014.
    Tabel 5.8 menggambarkan hubungan antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta di rumah sakit Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi selatan Tahun 2014 bahwa mayoritas responden menempati ruang yang padat yaitu sebanyak 29 orang, terdiri dari 28 responden yang masih berobat dan 1 orang sudah dinyatakan sehat.
    Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai p (0.005) < (0,05) ini berarti ada hubungan yang  signifikan antara kepadatan hunuan dengan kejadian kusta   pada Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi selatan Tahun 2014.
    2.    Hubungan pengetahuan dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi selatan Tahun 2014
    Tabel 5.9 menggambarkan hubungan pengetahuan dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makssar Sulawesi Selatan tahun 2014 bahwa dari 40 responden ada 35 orang yang berpengetahuan cukup, terdiri atas 34 orang yang masih menjalani masa pengobatan, dan 1 orang sudah dinyatakan sembuh
    Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai p (1,000) > (0,05) tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan responden dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan tahun 2014.


    3.    Hubungan personal hygiene dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014
    Tabel 5.10 menggambarkan adanya hubungan antara personal hygiene dengan kejadian kusta di rumah sakit khusus kusta tajuddin chalid makassr tahun 2014 bahwa umumnya responden mayoritas mempunyai personal hygiene dengan resiko tinggi yaitu 37 orang, yang terdiri dari 36 orang masih menjalani masa pengobatan dan 1 orangnya sudah dikatakan sembuh.sedangkan responden dengan resiko rendah personal hygiene rendah adalah sebanyak 3 orang yang terdiri dari 2 orang masih menjalani masa pengobatan dan 1 orangnya dinyatakan sembuh.
    Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai P (0,008)<  0.05 sehingga dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara personal hygiene dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014.
                                                    


    4.    Hubungan perilaku sehat dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014
    Tabel 5.11 menggambarkan hubungan antara perilaku sehat dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014 bahwa mayoritas responden memnpunyai resiko tinggi dari perilaku sehat yaitu sebanyak 38 orang, yaitu terdiri atas 37 responden masih menjalani masa pengobatan dan 1 orang dinyatakan sembuh. Adapun resiko rendah perilaku sehat hanya sebanyak 2 orang yang terdiri atas satu orang telah dinyatakan sehat dan satu orangnya masih menjalani masa pengobatan.
    Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai P (0,001) < 0,05 dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan antara perilaku sehat dengan kejadian kusta dirumah sakit kusa Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014.




    BAB VI
    KESIMPULAN DAN SARAN
    A.   Kesimpulan
    Berdasarkan pembahasan penelitian dapat disimpulkan sebagai berikut :
    1.    Ada hubungan yang signifikan antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta
    2.    Tidak ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kejadian kusta
    3.    Ada hubungan yang signifikan antara personal hygine dengan kejadian kusta
    4.    Ada hubungan yang signifikan antara perilaku/sikap dengan kejadian kusta.
    B.   Saran
    Adapun saran –saran pada penelitian adalah sebagai berikut :
    1.    Diharapkan kepada pihak rumah sakit untuk memprhatikan kepadatan hunian, personal hygine, dan perilaku atau sikap terhadap para penderita kusta sebelum melakukan tindakan pengobatan terhadap mereka, sehingga proses penyembuhan dapat berjalan dengan baik
    2.    Diharapkan kepada para penderita kusta untuk cepat-cepat melakukan tindakan pengobatan sebelum mereka ada kecacatan pada tubuh mereka, dan selalu banyak bertanya dan membaca untuk meningkatkan pengetahuaan mereka
    3.    Tulisan ini penulis harapkan bisa dijadikan sebagai refrensi untuk penulisan karya ilmiah lainnya, khusus terkait dengan pembahasan enyakit kusta



















                             DAFTAR PUSTAKA

    Alit putu, 2013.Penyakit kusta.
    (http://ww2.usadhaxamthone.com/?folio=7POYGN0G2)Diakses tanggal 24, oktober, 2013.         

    Aida nurul, 2013.Penyebab penyakit kusta,(
    Candra asep, 2013.”jumlah pengidap kusta masih tinggi” (http://www.jurnas.com/news/82829/Penderita_Kusta_Indonesia_Peringkat_Tiga_Dunia_/1/Sosial_Budaya/Kesehatan) diakses tanggal 15,oktober, 2013.
    Hidayatul, personal hygiene. (http//:www. Jtptunimus-gdl-hidayatul-6572-3 babiis-h.jurnal) diakses 7,oktober, 2013.

    Irma ayu, penyakit Hansen.(
              51 diakses tanggal 24, oktober, 2013.

    Joniansyah, 2013.” Penderita kusta Indonesia tertinggi ketiga di dunia”(http//:www.Kompasgramedia.com) diakses,.15,oktober 2013

    Kemenkes, 2012  Pedoman nasional program pengendalian penyakit
    kusta.Direktorat jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan
    lingkungan: Jakarta

    Melinda, 2013.  proposal perencanaan kesehatan polewali mandar tahun
    2013 tentang promotif and isolation penyakit kusta (tugas
    epidemiology perencanaan kesehatan).

    Rahman watief, 2010.pola pencarian pengobatan penderita penyakit kusta di kotamadya makassar tahun 2010.http//:www.doc. pola pencarian pengobatan penderita penyakit kusta di kotamadya makassar tahun 2010.) diaskes tanggal 1, oktober, 2013
       
    Samariansyah irwan, 2013. “Penderita ksuta Indonesia peringkat ketigadunia”.(http://www.jurnas.com/news/82829/Penderita_Kusta_Indonesia_Peringkat_Tiga_Dunia_/1/Sosial_Budaya/Kesehatan. diakses tanggal 15,oktober, 2013

    Widoyono, 2011.Penyakit  tropis (epidemiologi, penularan, pencegahan & pemberantasannya) edisi kedua, Erlangga:semarang

    Yunias sandoro, 2013.personal hygiene.
              http://yunias19ocean.blogspot.com/2011/05/personal-hygiene.html) diakses 6,desember, 2013

    Zulkoni akhzin, 2010.Parasitologi.medical: Jakarta
     (http//:www.blognya Melinda epidemiology.com/2013/05)  diaskses tanggal 15, oktober, 2103)








                                                                                     

    Related Posts: