LATAR
BELAKANG
A. Pendahuluan

Kusta atau lepra (sering disebut penyakit Hansen ) adalah infeksi kronis
disebabkan oleh bakteri mycobacterium
leprae. Terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf otak dan medulla
spinalis), bila tidak ditangani akan berakibat rusaknya kulit, selaput
lendir hidung, buah zakar(testis) dan
mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan
pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath. (akhsin zulkoni: 2010)
Berdasarkan data WHO tahun 2013, total 115 negara atau teritori
melaporkan kusta WHO: 25 dari Daerah Afrika, 28 dari Wilayah Amerika, 11 dari
Wilayah Asia Tenggara, 20 dari Daerah Mediterania Timur dan 31 dari Kawasan
Pasifik Barat. Sebagian besar negara di wilayah Eropa belum melaporkan kasus
dalam beberapa tahun terakhir, meskipun beberapa mendeteksi beberapa kasus
setiap tahunnya. Pada awal
tahun 2012 ada 232.876 kasus baru
kusta terdeteksi, dan prevalensi terdaftar adalah 189.018 kasus. (WHO: 2013)
Di
kawasan ASEAN, Indonesia menduduki tempat teratas keempat. Myanmar di urutan
kedua dengan 3.082 kasus, Filipina
ketiga
(2.936). Dua negara tetangga Indonesia, Malaysia hanya 216 kasus dan Singapura
11 kasus.(Compas: 2013)
Penyakit kusta menyebar di seluruh dunia mulai dari Afrika,
Amerika, Asia Tenggara, Mediterania Timur dan Pasifik Barat. Berdasarkan data
di Asia tenggara sendiri mencapai 133.422
kasus (PR 0,81 / 10.000 ), (Melinda :2013)
Berdasarkan
data 2012 Indonesia masih menjadi negara dengan jumlah penderita kusta
tertinggi di dunia.Dengan jumlah penderita kusta mencapai 23.169 orang membuat
Indonesia berada di urutan ketiga dunia penderita kusta terbanyak.Pulau Jawa
merupakan daerah yang mendominasi angka penderita penyakit menular ini.jumlah
penderita kusta di Indonesia masih cukup tinggi dan terus mengalami peningkatan
dibandingkan tahun sebelumnya.(jurnas: 2013)
Tahun
2012 jumlah penderita kusta terdaftar sebanyak 23.169 kasus dan jumlah
kecacatan tingkat 2 di antara penderita baru sebanyak 2.025 orang atau 10.11
persen. Jika dibandingkan tahun 2011 terjadi peningkatan dimana jumlah
penderita kusta mencapai 20.023 kasus.sehingga WHO menetapkan Indonesia
menempati urutan ke tiga dunia setelah India dan Brazil dengan jumlah penderita
kusta tertinggi (jurnas: 2013)
Berdasarkan
hasil pencatatan dan pelaporan dari Bidang P2P Dinas Kesehatan Kota Makassar, jumlah penderita Kusta pada tahun2009 sebanyak
151 penderita. Angka ini tersebar di tersebar di 38 wilayah kerja Puskesmas
dengan prevalensi tertinggi yakni sebesar 4,2 % dengan jumlah penderita
sebanyak 9 orang dari total jumlah penduduk di wilayah itu sebanyak 21.326 jiwa
(Data Program P2 Kusta Tahun 2009 Dinas Kesehatan Kota Makassar) (watief A
rahman: 2010)
Sedangkan di Rumah Sakit Tajuddin
Halid Makassar di Propinsi Sulawesi Selatan Penderita kusta yang dirawat inap
di RSK. Dr. tadjuddin Chalid Makassar tahun 2011 jumlah penderita kusta yang
menjalani perawatan rehabilitasi akibat kusta adalah sebanyak 358 orang pasien.
Dan yang 99 yang masih mendapatkan pengobatan (RS.tajuddin Chalid Makassar:
2013)
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan
pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah
penghuninya akan menyebabkan berjubelan
(overcrowded). Hal ini tidak sehat karena selain menyebabkan kurangnya
konsumsi oksigen, juga bila salah satu
anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama kusta akan mudah
menular kepada anggota keluarga yang
lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang di dalam
rumahnya.rata-rata luas rumah minimal 10 m2/orang, luas kamar tidur minimal 8
m2 dihuni tidak lebih dari 2 orang,kecualianak dibawah umur 5 tahun. Kepadatan
merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka
perpindahan penyakit akan semakin mudah dan cepat. Oleh sebab itukepadatan
hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang berperan dalam
kejadian kusta. Menurut penelitian
disuatu daerah di Indonesia yang menderita kusta karena kepadatan hunian sebanyak
68,6%dan yang tidak sebanyak 31,4%.(yuldan faturrahman:2010)
Banyaknya penderita kusta
di Indonesia tidak luput dari factor
minimnya pengetahuan,kurangnya pengetahuan penderita terhadap kusta,
baik dari segi pencegahan maupun pengobatanya salah satu indikasi meningkatnya
kusta di Indonesia. Tahun 2012 ditemukan 540 penderita
kusta baru dengan proporsi penderita Multibasiler masih tinggi (75,19%) dan
proporsi penderita cacat tingkat II masih diatas standar nasional (8,37%).
Kondisi ini menggambarkan proses penularan kusta masih terjadi di masyarakat.
Minimnya pengetahuan tentang kusta menyebabkan penderita terlambat berobat
sehingga menimbulkan kecacatan.Minimnya pengetahuan juga menyebabkan penderita
tidak menyadari pentingnya pengobatan. Di indonesiasendiri berdasarkan suatu
penelitian ada 40% penderita yang mempunyai
pengetahuan minim tentang kusta menderita penyakit ini.(sulastri: 2011)
Personal
hygiene adalah suatu tindakan untuk
memelihara kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik
dan
psikis. Tujuan dilakukan personal hygiene adalah meningkatkan derajat kesehatan seseorang, memelihara kebersihan diri seseorangmemperbaiki personal hygiene yang kurang, mencegah penyakit, meningkatkan percaya diri seseorang, menciptakan keindahan.
psikis. Tujuan dilakukan personal hygiene adalah meningkatkan derajat kesehatan seseorang, memelihara kebersihan diri seseorangmemperbaiki personal hygiene yang kurang, mencegah penyakit, meningkatkan percaya diri seseorang, menciptakan keindahan.
sebagian
penderita kusta menderita kusta berdasarkan suatu penelitian karena minimnya
personal hygienenya misalnya frekwensi mandinya 1 kali dalam sehari. Personal
hygiene penderita kusta sebagian kecil buruk , yaitu sebanyak 32,0% (edi
wibowo: 2013)
Perilaku
merupakan respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal
dari luar maupun dari dalam dirinya.Banyak penderita yang perilaku sehatnya
memang dibawah standar kesehatan sehingga memiicu perkembangan mycobacterium
leprae.perilaku penghuni dengan
kategori kurang sebesar 81,1% (Gandhi kusyoko:2010)
B.
Rumusan
Masalah
Berdasarkan
uraian latar belakang diatas, rumusan masalah dikemukakan dalam bentuk : Apakah factor kepadatan hunian, factor
pengetahuan ,factor prilaku, dan factor personal hygiene berhubungan dengan
kejadian kusta pada pasien Rumah Sakit khusus Tajuddin Chalid Makassar Tahun
2014.
C.
Tujuan
Penelitian
1.
Tujuan
Umum
Untuk
mengetahui faktor yang berhubungan dengan kejadian kusta pada pasien Rumah
Sakit khusus Tajuddin Chalid Makassar Tahun 2014.
2. Tujuan Khusus
a. Untuk
mengetahui hubungan kepadatan hunian dengan kejadian kusta.
b. Untuk
mengetahui hubungan pengetahuan dengan
kejadian kusta .
c. Untuk
mengetahui hubungan personal hygiene
dengan kejadian kusta.
d. Untuk
mengetahui hubungan perilaku/sikap
dengan kejadian kusta.

D.
Manfaat
Penelitian
1. Manfaat
Ilmiah
Diharapkan dapat memperkaya
cakrawala ilmu pengetahuan tentang faktot-faktor yang mempengaruhi kejadian
kusta pada pasien Rumah Sakit Tajuddin
Chalid Makassar dan dapat dijadikan
referensi tambahan pada penelitian selanjutnya.
2. Manfaat
Institusi
Penelitian ini diharapakan
dapat menjadi salah satu bahan referensi masukan bagi FKM UIT Makassar pada
umumnya dan khususnya bagi peneliti lain.
3. Manfaat
Praktis
Merupakan pengalaman
berharga serta dapat memperkaya khasanah wawasan ilmu pengetahuan peneliti
dalam rangka penerapan ilmu pengetahuan yang diperoleh pada lingkungan
masyarakat.
BAB
II
TINJAUAN
PUSTAKA
A.
Tinjauan umun tentang kusta
1. Definisi
Kusta atau lepra (sering
disebut penyakit Hansen ) adalah
infeksi kronis disebabkan oleh bakteri mycobacterium
leprae. Terutama ditandai oleh adanya kerusakan saraf perifer (saraf otak dan medulla
spinalis), bila tidak ditangani akan berakibat rusaknya kulit, selaput
lendir hidung, buah zakar(testis) dan
mata. Tidak seperti mitos yang beredar di masyarakat, kusta tidak menyebabkan
pelepasan anggota tubuh yang begitu mudah, seperti pada penyakit tzaraath. (akhsin zulkoni: 2010)
Kusta merupakaan salah satu
penyakit infeksi yang kronik penyebab dari penyakit ini adalah Mycobacterium leprae yang menyerang
susunan saraf tepi, kulit, dan mukosa traktus respiatorius bagian atas kemudian
menyerang keorgan lain kecuali susunan saraf pusat.(Kokasih dalam Isnoor, 2012)
Definisi
lain menyebutkan penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh
kuman Mycobakterium Leprae (M.Leprae), yang pertama kali menyerang
susunan saraf tepi,selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa atau mulut,
saluran pernapasan bagian atas, system retikulo endotelelial, mata, otot,
tulang dan testis. Selain itu kusta adalah penyakit menular yangdisebabkan oleh
kuman, terutama yang menyerang kulit dan saraf, dengan perkembangan yang sangat
lambat dengan masa tunas rata-rata 3-5 tahun. (kokasih dalam Isnoor, 2012)
Dengan demikian secara umum
kusta, lepra atau Morbus Hansen adalah penyakit kronik yang menular menahun
disebabkan oleh kumanMycobakterium Leprae
(M.Leprae) yang menyerang susunan saraf tepi, kulit luar, mukosa atau
mulut, saluran pernapasan atas, system retikulo endothelial, mata, otot, tulang dan testis
dengan masa tunasrata-rata 3-5 tahun.
2. Etiologi
Penyebab penyakit kusta
adalah bakteri Mycobacterium leprae yang berbentuk batang dengan ukuran panjang
1-8 mikron, lebar 0,2-0,5 mikron, biasanya berkelompok dan ada yang tersebar
satu-satu,hidup dalam sel, dan bersifat tahan asam (BTA). (widoyono: 2011)
Definisi lain menyebutkan bahwa
penyebab penyakit ini adalah Mycobakterim
Leprae (M.Leprae) yang menyerang kulit dan di temukan pertama kali oleh
Dr.Gerhard Armauwer Hansen pada tahun 1878 di Norwegia. Bakteri lepra merupakan
salah satu bakteri yang hanya tumbuh dan berkembang pada manusia saja.Walaupun
demikian masih belum dapat dibiakkan karena sulitnya mencari media yang cocok,
media yang paling baik sampai saat ini adalah telapak kaki tikus. (isnoor dalam
Dinkes Tasikmalaya, 2012).
Secara
morfologik merupakan bakteri Mycobakterium
Leprae berbentuk pleomorf lurus, batang panjang, sisi parallel dengan kedua
ujung bulat,ukuran 0,3-0,5x 1-8 mikron. Basil berbentuk batang gram positif,
tidak bergerak dan tidak berspora termasuk masa ireguler besar yang disebut
ilogobi.M.Leprae memiliki dinding
terdiri dari 2 yaitu lapisan peptidoglikan padat pada bagian dalam lapisan
lipopolisakarida dan kompleks protein lipopolisakarida pada bagian luar.
(isnoor dalam amiruddin, 2012).
3. Masa inkubasi
Penyakit kusta bersifat
menahun karena bakteri kusta memerlukan waktu 12-21 hari untuk membelah diri
dan masa tunasnya rata-rata 2-5 tahun,akan tetatpi dapat juga bertahun-tahun.
Penyakit kusta dapat ditularkan kepada orang lain melalui saluran pernapasan
dan kontak kulit.Bakteri Mycobacterium leprae
banyak terdapat pada kulit tangan, daun telinga, dan mukosa
hidung.(widoyono: 2011)
Definisi lain menyebutkan
penyakit kusta adalah penyakit kronik yang disebabkan oleh kuman Mycobakterium Leprae (M.Leprae), yang pertama kali menyerang
susunan saraf tepi,selanjutnya dapat menyerang kulit, mukosa atau mulut,
saluran pernapasan bagian atas, system retikulo endotelelial, mata, otot,
tulang dan testis. Selain itu kusta adalah penyakit menular yang disebabkan
oleh kuman, terutama yang menyerang kulit dan saraf,dengan perkembangan yang
sangat lambat dengan masa tunas rata-rata 3-5 tahun. (kokasih dalam Isnoor,
2012)
4. Cara penularan
Cara penularan kusta Meskipun
cara penularannya yang pasti belum diketahui dengan jelas, penularan di dalam
rumah tangga dan kontak/hubungan dekat dalam waktu yang lama tampaknya sangat
berperan dalam penularan kusta.
Cara-cara
penularan penyakit kusta sampai saat ini masih merupakan tanda tanya. Yang
diketahui hanya pintu keluar kuman kusta dari tubuh si penderita, yakni selaput
lendir hidung. Tetapi ada yang mengatakan bahwa penularan penyakit kusta
adalah:
a.
Melalui sekresi hidung,
basil yang berasal dari sekresi hidung penderita yang sudah mengering, diluar
masih dapat hidup 2–7 x 24 jam.
b.
Kontak kulit dengan kulit.
Syarat-syaratnya adalah harus dibawah umur 15 tahun, keduanya harus ada lesi
baik mikoskopis maupun makroskopis, dan adanya kontak yang lama dan
berulang-ulang. (Melinda dalam Zulkifli:
2010).
5. Sumber penularan (resevoir)
Sampai saat ini hanya manusia
satu-satunya yang dianggap sebagai sumber penularan walaupun kuman kusta dapat
hidup pada armadillo, simpanse dan pada telapak kaki tikus yang tidakmempunyai
kelenjar thymus (athymic nude mouse)
(kemenkes RI:2012).
Penelitian
lain juga mneyebutkan Bakteri lepra merupakan salah satu bakteri yang hanya
tumbuh dan berkembang pada manusia saja. Walaupun demikian masih belum dapat
dibiakkan karena sulitnya mencari media yang cocok, media yang paling baik
sampai saat ini adalah telapak kaki tikus. (isnoor dalam Dinkes Tasikmalaya,
2012).
6. Patogenesis
Seseorang yang terinfeksi M. leprae belum tentu akan menderita
penyakit kusta. Bakteri harus memenuhi jumlah minimum agar dapat tumbuh dan
menimbulkan manifestasi klinis.Manifestasi klinis yang ditimbulkan-pun
tergantung dari sistem imunitas seluler yang dimiliki host.Pada dasarnya, M. leprae
memiliki patogenitas dan daya invasi rendah karena penderita yang terinfeksi
lebih banyak kuman belum tentu menimbulkan manifestasi klinis yang lebih parah.
Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa derajat penyakit lebih dipengaruhi oleh
reaksi imunitas host dibandingkan
derajat infeksinya.
Gambar 1. Patogenesis Lepra dan Respon Imun
Selular
Ketika M.
leprae menginvasi, sistem imun seluler tubuh akan meresponnya sesuai
derajat imunitas. Dikenal dua kutub dalam patogenesis lepra, yaitu kutub
tuberkuloid (TT) dan kutub lepromatosa (LL). Setiap kutub akan dikarakterisasi
oleh imunitas yang bersifat cell-mediated
atau sistem imun humoral. Pada individu yang sistem imun selulernya baik,
respon imun dimediasi oleh sel T-helper 1. Sel ini akan mengeluarkan sitokin
pro-inflamasi seperti IFN-γ, TNF, IL-2, IL-6, IL-12 serta molekul kemotaktil
yang berfungsi memanggil sel makrofag. Sesampainya di kulit, makrofag berubah
nama menjadi histiosit. Histiosit akan memfagosit M. leprae sehingga kuman dapat dieliminasi.
Sedangkan
jika sistem imun selular tidak bekerja secara efektif, makrofag gagal
memfagosit M. leprae. Tipe ini
dimediasi oleh sel T-helper 2 dengan cara mengeluarkan IL-4 dan IL-10. M. leprae menduduki makrofag dan
berkembang biak di dalamnya.
Sel inidisebut sebagai sel
virchow atau sel busa atau sel lepra yang dapat ditemukan di subepidermal clear zone.
Akumulasi makrofag beserta
derivat-derivatnya membentuk granuloma yang penuh kuman. Granuloma dapat
ditemukan tertama pada area tubuh yang suhunya lebih dingin, seperti : cuping
telinga, hidung, penonjolan tulang pipi, alismata, kaki, dll).
Gambar
2. Tipe Klinis Lepra Berdasarkan Sistem Imun.
Perlu diketahui bahwa penyakit
kusta bukanlah penyakit keturunan. Sampai saat ini, cara penularannya belum
diketahui secara pasti. Kontak langsung antarkulit yang erat dalam jangka waktu
lama serta transmisi airborne (secara inhalasi) diyakini menjadi jalur
penularan penyakit ini. Masa inkubasinya bervariasi antara 40 hari hingga 40
tahun, namun pada umumnya terjadi dalam 3-5 tahun setelah pertama kali
terinfeksi.(yohanes: 2013)
7. patofisiologi penyakit kusta
Setelah M. leprae masuk
ke dalam tubuh, perkembangan penyakit kusta bergantung pada kerentanan
seseorang.
Respon
tubuh setelah masa tunas dilampaui tergantung pada derajat sistem imunitas
selular (cellular mediated
immune) paien. Kalau sistem imunitas selular tinggi, penyakit
berkembang kea rah tuberkuloid dan bila rendah, berkembang kea rah lepromatosa.M. leprae berpredileksi di
daerah-daerah yang relative lebih dingin, yaitu daerah akral dengan
vaskularisasi yang sedikit.
Derajat
penyakit tidak selalu sebanding dengan derajat infeksi karena respon imun pada
tiap pasien berbeda.Gejala klinis lebih sebanding dengan tingkat reaksi selular
daripada intensitas infeksi. Oleh karena itu penyakit kusta dapat disebut
sebagai penyakit imunologik.(Putu alit: 2013)
8. Diagnosis
Penyakit kusta adalah
penyakit menular, menahun dan disebabkan oleh kuman kusta (Mycobacterium
leprae) dasar yang bersifat intraseluler obligat. Saraf tepi/perifer sebagai
afinitas pertama, lalu kulit dan mukosa saluran nafas bagain atas , kemudian
dapat ke organ tubuh lainnya kecuali susunan saraf pusat. Atas dasar definisi
tersebut, maka untuk mendiagnosis kusta dari kelainan yang berhubungan dengan
gangguan saraf tepidan kelainan yang tampak pada kulit. Untuk menetapkan
diagnosis penyakit kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda cardinal (cardinal signs), yaitu:
1.
Kelainan lesi kulit
2.
Penebalan saraf tepi
disertai gangguan fungsi saraf
3.
Adanya basil tahan asam
(BTA) dalam kerokanjaringan kulit(slit
skin smear).(Kemenkes RI: 2012)
9. Gejala dan tanda
Gejala
klinis timbul sesuai derajat imunitas selular seseorang.Bila imunitas baik,
maka manifestasi klinis yang muncul lebih mengarah pada tipe tuberkuloid.Sementara
jika sistem imun buruk, manifestasi klinis lebih mengarah pada tipe lepromatosa.
Ridley dan Jopling membagi tipe klinis lepra menjadibeberapa kelas sebagai
berikut:
Gambar 3. Spektrum
Klinis Lepra Berdasarkan Klasifikasi Ridley-Jopling
Tuberculoid polar (TT) dan lepromatous
polar (LL) merupakan tipe yang stabil dan tidak mungkin berubah.Sedangkan borderline tuberculoid (BT), mid borderline (BB), dan borderline lepramatous (BL) merupakan
bentuk yang tidak stabil sehingga dapat berubah tipe sesuai derajat
imunitas.Tipe indeterminate (I) tidak
dimasukkan ke dalam spektrum.Pada fase ini, kemungkinan untuk kembali sembuh
sebesar 70%. Sementara 30% sisanyakemungkinan dapat berkembang menjadi tipe-tipe
di dalam spektrum diatas(yohanes: 2013)
Tiga
gejala utama (cardinal sign) penyakit kusta adalah:
1. Kelainan
(lesi) kulit yang mati rasa
Kelainan
kulit/ lesi yang dapat berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan (eritema)
yang mati rasa (anastesi).
2. Penebalan
saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat
dari peradangan saraf tepi kronis. Gangguan fungsi saraf bias berupa:
a. Gangguan
fungsi sensoris: mati rasa
b. Gangguan
fungsi motoris: kelemahan (paresis)
atau kelumpuhan otot
c.Gangguan
fungsi otonom: kulit kering dan retak-retak
3. Adanya
basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (klit skins smear ),(kemenkes RI:2012).
10. Faktor resiko
Kelompok yang berisiko
tinggi terkena kusta adalah yang tinggal di daerah endemik dengan kondisi yang
buruk seperti tempat tidur yang tidak memadai, air yang tidak bersih, asupan
gizi yang buruk, dan adanya penyertaan penyakit lain seperti HIV yang dapat
menekan sistem imun. Pria memiliki tingkat terkena kusta dua kali lebih tinggi
dari wanita, (ayu Irma: 2013)
11. Klasifikasi kusta
Pada
tahun 1980, WHO membagi lepra menjadi tipe multibasilar (MB) dan pausibasilar (PB).
Gambar 4. Perbandingan Klasifikasi
Ridley-Jopling dengan Klasifikasi WHO
Klasifikasi
WHO ditentukan oleh jumlah basil yang ditemukan dari pemeriksaan slit skin smear.Tipe TT dan BT memiliki
jumlah BTA yang rendah oleh karena itu diklasifikasikan ke dalam
pausibasilar.Sementara tipe BB, BL, dan LL memiliki jumlah BTA yang tinggi
sehingga diklasifikasikan ke dalam multibasilar.
Secara
klinis, sifat lesi (jumlah, morfologi, distribusi, permukaan, anestesia) dan
kerusakan saraf dapat mengarahkan kita untuk menegakkan diagnosis kearah
tuberkuloid atau lepromatosa. Semakin ke
arah tuberkuloid, biasanya ditandai dengan lesi berbentuk makula saja / makula
yang dibatasi infiltrat dengan permukaan kering bersisik, anestesia jelas,
berjumlah 1-5, tersebar asimetris, kerusakan saraf biasanya terlokalisasi
sesuai letak lesinya. Di sisi lain, semakin mengarah ke tipe lepromatosa,lesi
akan lebih polimorfik (makula, infiltrat difus, papul, nodus) dengan permukaan
yang halus berkilat, anestesia tidak ada sampai tidak jelas, berjumlah banyak
(>5 lesi), dan biasanya tersebar simetris, kerusakan saraf biasanya lebih
luas.
Gambar 5.Spektrum Klinis dan Respon
Imunologi Berdasarkan Tipe Lepra.
Karena
pemeriksaan slit skin smear tidak
selalu tersedia, maka pada tahun 1995 WHO menyederhanakan klasifikasi klinis
kusta berdasarkan lesi di kulit dan kerusakan saraf.
Tabel
1. Kriteria Diagnosis Klinis Menurut WHO (1995)
Pausibasilar (PB)
|
Multibasilar (MB)
|
|
Lesi
Kulit
(makula datar,
Papul yang meninggi,
nodus)
|
- Jumlah
: 1-5 lesi
- Warna
: Hipopigmentasi / eritema
- Distribusi
: asimetris
- Anestesia
: jelas
|
- Jumlah
: 1-5 lesi
- Distribusi:simetris
- Anestesia:kurang
jelas
|
Kerusakan
Saraf
|
-
Hanya satu cabang saraf
|
-
Banyak cabang saraf
|
Disamping gejala klinis dari anamnesis, penting untuk
melalukan pemeriksaan fisik untuk menegakkan diagnosis lepra. Dari inspeksi,
lesi kulit yang timbul pada lepra mirip dengan lesi kulit pada
penyakit-penyakit lainnya (misal : dermatofitosis, tinea versikolor, pitiriasis
alba/rosea, dermatitis, skleroderma, dll) sehingga lepra dijuluki sebagai the greatest imitator. Ada tidaknya baal
yang dapat diketahui melalui tes sensitivitas cukup membantu penyingkiran
diagnosis banding.Tes sensitivitas dilakukan menggunakan kapas (untuk rangsang
raba), jarum (untuk rangsang nyeri), dan tabung reaksi berisi air panas dan
hinggin (untuk rangsang suhu).
Tidak hanya komponen sensorik, komponen
motorik dan otonom saraf perifer harus diperiksa pada pasien dengan memiliki
lesi kulit yang dicurigai kusta.Fungsi otonom dapat dinilai denganmemperhatikan
ada atau tidaknya dehidrasi pada lesi atau diperiksa dengan bantuan tinta
gunawan. Adanya pembesaran saraf perifer yang diketahui dengan cara palpasi
bisanya mengindikasikan adanya kelainan fungsi saraf yang bersangkutan. Untuk
itu perlu untuk melakukan voluntary
muscle test. Saraf perifer yang diperiksa antara lain : n. fasialis, n.
aurikularis magnus, n. radialis, n. ulnaris, n. medianus, n. poplitea
lateralis, dan n. tibialis posterior.(yohanes: 2013)
12. Tingkat kecacatan
Tabel 2. Derajat kecacatan
(yohanes: 2013)
13. Pencegahan
Pencegahan secara umum
adalah mengambil tindakan terlebih dahulu sebelum kejadian.Dalam mengambil
langkah-langkah untuk pencegahan, haruslah didasarkan pada data / keterangan
yang bersumber dari hasil analisis epidemiologi atau hasil pengamatan /
penelitian epidemiologis.
Ada tiga tingkatan pencegahan penyakit menular
secara umum yakni:
1. Pencegahan
tingkat pertama (primary prevention)
Sasaran
ditujukkan pada faktor penyebab, lingkungnan serta faktor pejamu.
a. Sasaran
yang ditujukan pada faktor penyebab yang bertujuanuntuk mengurangi penyebab
atau menurunkan penngaruh penyebab serendah mungkin dengan usaha antara lain :
desinfeksi, pasteurisasi, sterilisasi yang bertujuan untuk menghilangnkan
mikro-organisme penyebab penyakit, menghilangkan sumber penularan maupun
memutuskan rantai penularan, disamping karantina dan isolasi yang juga dalam
rangka memutus rantai penularan, serta mengurangi / menghindari perilaku yang
dapat meningkatkan resiko perorangan dan masyarakat.
b. Mengatasi
/ modifikasi lingkungan melalui perbaikan lingkungan fisik seperti peningkatan
air bersih, sanitasi lingkungan dan perumahan serta bentuk pemukiman lainnya.Meningkatkan
daya tahan pejamu melalui perbaikan status gizi, status kesehatan umum dan
kualitas hidup penduduk, pemberian imunisasi serta berbagai bentuk pencegahan
c. khusus
lainnya serta usaha menghindari pengaruh faktor keturunan dan peningkatan
ketahanan fisik melalui olah raga kesehatan.
2. Pencegahan
tingkat kedua (secondary prevention)
Sasaran pencegahan
ditujukan pada mereka yang menderita atau yang dianggap menderita (suspek) atau
yang terancam akan menderita (masa tunas). Adapun tujuan tingkat kedua ini
meliputi diagnosis dini dan pengobatan yang tepat agar dapat dicegah meluasnya
penyakit atau untuk mencegah timbulnya wabah, serta untuk segera mencegah
proses penyakit lebih lanjut serta mencegah terjadinya komplikasi, antara lain
:
a. Pencarian
penderita secara dini dan aktif melalui peningkatan uasaha surveillans penyakit
tertentu, pemeriksaan berkala serta pemeriksaan kelompok tertentu (calon
pegawai, ABRI, mahasiswa dan lain sebagainya), penyaringan (screening) untuk
penyakit tertentu secara umum dalam masyarakat, serta pengobatan dan perwatan
yang efektif.
b. Pemberian
chemoprophylaxis yang terutama bagi mereka yang dicurigai berada pada proses
prepatogenesis dan patogenesis penyakit tertentu.
3. Pencegahan
tingkat ketiga (thretery prevention)
Sasaran pencegahan adalah penderita yang menderita
penyakit tertentu dengan tujuan mencegah jangansampai mengalami cacat atau
kelainan permanent, mencegah bertambah parahnya suatu penyakkit atau mencegah
kelainan akibat penyakit tersebut.Pada tingkat ini juga dilakukan usaha
rehabilitasi untuk mencegah terjadinnnya komplikasi dari penyembuhan suatu
penyakit tertentu. Rehabilitasi adalah usaha pengembalian fungsi fisik,
psikologis dan sosial seoptimal mungkin,(nurul aida: 2013).
14. Pengobatan
Kemoterafi kusta dimulaipada tahun
1949 dangan DDS sebagaiobat tunggal (monoterafi DDS).DDS harus diminum selama
3-5 tahun untuk PB, sedangkan untuk MB 5-10 tahun, bahkan seumur hidup.
Kekurangan monoterapi DDSadalaah terjadinya resistensi, timbulnay kumanpresisters serta terjadinya defaulter. Pada tahun 1964 ditemukan
resistensi terhadapDDS.
Oleh
seba itu pada tahun 1982 WHO merekomendasikan pengobatan kusta dengan Multi Drug Therapy (MDT) untuk tipe PB maupun MB.
1. Pasien
pausibasiler
Dewasa pengobatan bulanan hari pertama
(obat diminum di depan petugas)
a. Pengobatan
rimfasin @ 300 mg (600 mg)
b. 1
tablet dapson/ DDS 100 mg
Satu blister untuk 1
bulan.dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan
2. Pasien
multibasiler (MB)
Dewasa
Pengobatan bulanan hari pertam (obat diminum
didepan petugas)
a. 2
kapsul rimfasin @ 300 mg (600 mg)
b. 3
tablet lampren @ 100 mg (300 mg)
c. 1
tablet dapson/ DDS 100 mg
Satu blister untuk 1
bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18 bulan.
3. Dosis
MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun)
Pengobatan bulanan : hari
pertama (obat diminum didepan petugas)
a. 2
kapsul rimfasin 150 mg dan 300 mg
b. 1
tablet dapson/ DDS 50 mg
Pengobatan harian :hari ke 2- 28 hari yaitu:1
tablet dapson/ DDS 50 mg. 1 blister untuk satu bulan. Dibutuhkan 6 blister yang
diminum selama 6-9 bulan.
4. Dosis
MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)
1. Pengobatan
bulanan: hari pertama (obat diminum didepan petugas)
a. 2
kapsul rimfasin 150 mg dan 300 mg
b. 3
tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
c. 1
tablet dapson/ DDS 50 mg
2. Pengobatan
harian
a. 1
tablet lampren 50 mg selang sehari
b. 1
tablet dapson/DDS 50 mg
Satu
blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan12 blister yang diminum selama 12-18 bulan.
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan:
1. Rimfasin:
10-15 mg/kgBB
2. Dapson:
1-2 mg/ kgBB
3. Lampren:
1 mg/kgBB
15. Epidemiologi kusta
a. Masalah
epidemiologi masih belum terpecahkan, cara penularannya pun masih belum
diketahui pasti hanya berdasarkn anggapanklasik yaitu kontaklangsung antar
kulit yang lama dan erat. Anggapan yang kedua adalah inhalasisebab Mycobakterium leprae yang masih hidup
beberapa hari dalam dahak (droplet).
Masa tunasnya bervariasi, antara 40 hari sampai 40 tahun, umumnya beberapa
tahun, rata-rata 3-5 tahun. (isnoor matsyah dalam kokasih: 2011)
Secara deskriptif epidemilogi kusta
digambarkan menurut tempat,
waktu dan orang.
Gambaran epidemiologisnya
sebagai berikut:
1. Distribusi
menurut umur
Penyakit
kusta jarang ditemukan pada bayi.Angka kejadian penyakit ini meningkat sesuai
dengan umur dengan puncak umur 10-20 tahun dan kemudian menurun.prevalensinya
juga meningkat sesuai umur dengan puncak umur 30-50 tahun dan kemudian secara
perlahan-lahan menurun juga.
2. Distribusi
menurut jenis kelamin
Insiden
maupun prevalensi pada laki-laki per banyak dari pada perempuan kecuali di
Afrika dimana perempuan lebih banyak menderita kusta dari paada laki-laki.
Faktorfisiologik seperti pubertas, menopause, kehamilan serta factor infeksi
dan malnutrisi dapat meningkatkan perubahan klinis penyakit kusta(isnoor dalam
risti: 2011)
3.
Tempat (place)
Penderita
ksuta tersebar diseluruh dunia.Jumlah yang tercatat 888.340 orang pada tahun
1997. Ada yang berpendapat penyakit ini berasal dari Asia tengah
kemudianmenyebar ke Mesir, Eropa, Asia, dan Amerika .termasuk Indonesia,
diperkirakan penyakit ini dibawa dan terbawa oleh orang-orang cina dan india yang melakukan
perdagangan di Indonesia. Beberapa factor yang dapat berperaan dalam kejadian
dan penyebaran kusta yaitu: iklim (panas dan lembab), diet, status gizi, status
social ekonomi dangenetic. Perkiraan jumlah penderita kusta baru di dunia akhir
tahun 2009 adalah 244.796 kasus barudengan kasus baru terbanyak di asia
tenggara dengan jumlah penderita baru 166.155 kasus baru, sedangkan penderita
baru di Indonesia akhir tahun 2009 mencapai 17.260 kasus baru dengan penyumbang
tertinggi ke-3.
4. Waktu
(line)
Pada
tahun 2005 terbanyak 17 negara melaporkan 1000 atau lebih kasus baru, yang
semuanya menyumbang 94% kasus kusta baru di dunia. Secara global terjadi
penurunan kasus baru, tetapi sejak tahun 2002 terjadi peningkatan kasus baru,
tetapi sejak tahun 2002 terjadi peningkatan kasus baru dibeberapa Negara
seperti Republic Demokrasi Kongo,philipina dan Indonesia. Pada tahun 2005
indonesia menempati urutan ke tiga dalam jumlah kasus baru setelah Brazil dan india. Hingga kini Indonesia masih
menempati urutan yang sama, (WHO: 2010).
B.
Tinjauan
umum
1. Kepadatan
hunian
Kepadatan
penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan pengaruh bagi penghuninya.
Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah penghuninya akan menyebabkan
berjubelan (overcrowded). Hal ini tidak
sehat karena selainmenyebabkan kurangnya konsumsi oksigen, juga bila salah satu anggota keluarga terkena
penyakit infeksi, terutama kusta akan mudah menular kepada anggota keluarga yang lain, dimana
seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang di dalam
rumahnya.rata-rata luas rumah minimal 10 m2/orang, luas kamar tidur minimal 8
m2 dihuni tidak lebih dari 2 orang,kecualianak dibawah umur 5 tahun. Kepadatan merupakan pre-requisite
untuk proses penularan penyakit, semakin padat maka perpindahan penyakit akan semakin
mudah dan cepat. Oleh sebab itu kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal
merupakan variabel yang berperan dalam kejadian kusta. Menurut penelitian disuatu daerah di
Indonesia yang menderita kusta karena kepadatan hunian sebanyak 68,6%dan yang tidak
sebanyak 31,4%.(yuldan faturrahman:2010).
2. Pengetahuan
Pengetahuan
merupakan hasil dari tahu, yang terjadi setelah melakukan penginderaan terjadi
melalui panca indra manusia, yakni indra penglihatan, pendengaran, penciuman,
rasa dan raba. Dengankata lain semakin tinggi pendidikan seseorang semakin
tinggi pula pengetahuan seseorang.
Banyaknya
penderita kusta di Indonesia tidak luput
dari factor minimnya
pengetahuan,kurangnya pengetahuan penderita terhadap kusta, baik dari segi
pencegahan maupun pengobatanyasalah satu indikasi meningkatnya kusta di
Indonesia. Tahun 2012 ditemukan 540 penderita kusta
baru dengan proporsi penderita Multibasiler masih tinggi (75,19%) dan proporsi
penderita cacat tingkat II masih diatas standar nasional (8,37%). Kondisi ini
menggambarkan proses penularan kusta masih terjadi di masyarakat. Minimnya
pengetahuan tentang kusta menyebabkan penderita terlambat berobat sehingga
menimbulkan kecacatan.Minimnya pengetahuan juga menyebabkan penderita tidak
menyadari pentingnya pengobatan. Di indonesiasendiri berdasarkan suatu
penelitian ada 40% penderita yang mempunya pengetahuan minim tentang kusta
menderita penyakit ini.(sulastri: 2011)
3. Personal hygiene
Dalam kehidupan sehari-hari
kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus diperhatikan karena
kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang. Kebersihan itu
sendiri dangat dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan. Hal-hal yang
sangat berpengaruh itu di antaranya kebudayaan , sosial, keluarga, pendidikan,
persepsi seseorang terhadap kesehatan, serta tingkat perkembangan.
Jika
seseorang sakit, biasanya masalah kebersihan kurang diperhatikan. Hal ini
terjadi karena kita menganggap masalah
kebersihan adalah masalah
sepele, padahal jika hal tersebut dibiarkan terus dapat mempengaruhi kesehatan
secara umum.
Personal Hygiene berasal
dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti
sehat.Kebersihan seseoang adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseoran untuk kesejahteraan fisik dan psikis.
Personal hygiene adalah
suatu tindakan untuk memelihara
kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
psikis. Tujuan dilakukan personal hygiene adalah meningkatkan derajat kesehatan seseorang, memelihara kebersihan diri seseorang, memperbaiki personal hygiene yang kurang, mencegah penyakit, meningkatkan percaya diri seseorang, menciptakan keindahan. Personal hygiene termasuk Perawatan kulit kepala dan rambut, Perawatan mata,Perawatan hidung, Perawatan telingga, Perawatan kuku kaki dan tangan,Perawatan genetalia,Perawatan kulit seruruh tubuh, Perawatan tubuh secara keseluruhan
psikis. Tujuan dilakukan personal hygiene adalah meningkatkan derajat kesehatan seseorang, memelihara kebersihan diri seseorang, memperbaiki personal hygiene yang kurang, mencegah penyakit, meningkatkan percaya diri seseorang, menciptakan keindahan. Personal hygiene termasuk Perawatan kulit kepala dan rambut, Perawatan mata,Perawatan hidung, Perawatan telingga, Perawatan kuku kaki dan tangan,Perawatan genetalia,Perawatan kulit seruruh tubuh, Perawatan tubuh secara keseluruhan
sebagian penderita kusta
menderita kusta berdasarkan suatu penelitian karena minimnya personal
hygienenya dalam hal ini adalah
frekwensi mandinya 1 kali dalam sehari dalam perawatan diri secara
keseluruhan. Personal hygiene penderita kusta sebagian kecil buruk ,berdasarkan
suatu penelitian masih ada yaitu
sebanyak 32,0% (edi wibowo: 2013)
4. Perilaku/
sikap
Perilaku merupakan respon
atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun
dari dalam dirinya.Banyak penderita yang perilaku sehatnya memang dibawah
standar kesehatan sehingga memiicu perkembangan mycobacterium leprae.perilaku penghuni dengan kategori kurang
sebesar 81,1% (Gandhi kusyoko:2010)
BAB
III
KERANGKA KONSEP
A. Dasar pemikiran variabel
penelitian
Penyakit merupakan suatu fenomena
kompleks yang berpengaruh negatife terhadap kehidupan manusia. Kepadatan hunian,
pengetahuan yang minim, personal hygiene yang buruk dan perilaku merupakan
penyebab bermacam-macam penyakit seperti penyakit kusta,(isnoor matsyah:2012).
Berdasarkan tinjauan pustaka bahwa
kejadian penyakit kusta disebabkan oleh padatnya suatu hunia, minimnya
pengetahuan, personal hygien yang buruk dan perilaku.Factor-faktor yang
mempengaruhi terjadinya kusta pada masyarakat.
Kepadatan penghuni dalam satu rumah tinggal akan memberikan
pengaruh bagi penghuninya. Luas rumah yang tidak sebanding dengan jumlah
penghuninya akan menyebabkan berjubelan
(overcrowded). Hal ini tidak sehat karena selain menyebabkan kurangnya
konsumsi oksigen, juga bila salah satu
anggota keluarga terkena penyakit infeksi, terutama kusta akan mudah
menular kepada anggota keluarga yang
lain, dimana seorang penderita rata-rata dapat menularkan 2-3 orang di dalam
rumahnya.rata-rata luas rumah minimal 10 m2/orang, luas kamar tidur minimal 8
m2 dihuni tidak lebih dari 2 orang,kecuali anak dibawah umur 5 tahun.
1. Kepadatan merupakan pre-requisite untuk proses penularan penyakit,
semakin padat maka perpindahan penyakit akan semakin mudah dan cepat. Oleh
sebab itu kepadatan hunian dalam rumah tempat tinggal merupakan variabel yang
berperan dalam kejadian kusta.(yuldan faturrahman:2010)
2. Banyaknya penderita kusta
di Indonesia tidak luput dari factor
minimnya pengetahuan,kurangnya pengetahuan penderita terhadap kusta,
baik dari segi pencegahan maupun pengobatanya salah satu indikasi meningkatnya
kusta di Indonesia.88% masyarakat tidak mengetahui cara penularan kusta dan 56%
masih beranggapan penyakit ini adalah penyakit keturunan
Kondisi ini menggambarkan proses penularan kusta masih terjadi di masyarakat.
Minimnya pengetahuan tentang kusta juga menyebabkan penderita terlambat berobat
sehingga menimbulkan kecacatan. Minimnya pengetahuan juga menyebabkan penderita
tidak menyadari pentingnya pengobatan.(sulastri: 2011)
Berdasarkan
latar belakang diatas, maka perlu dilakukan penelitian mengenai tingkat
pengetahuan masyarakat di Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar mengenai kusta.
Dalam
kehidupan sehari-hari kebersihan merupakan hal yang sangat penting dan harus
diperhatikan karena kebersihan akan mempengaruhi kesehatan dan psikis seseorang.
Kebersihan itu sendiri saangat
dipengaruhi oleh nilai individu dan kebiasaan seperti:
1. Hal-hal yang sangat berpengaruh itu
di antaranya kebudayaan,sosial, keluarga, pendidikan, persepsi seseorang
terhadap kesehatan, serta tingkat perkembangan.
Jika seseorang sakit,
biasanya masalah kebersihan kurang diperhatikan.Hal ini terjadi karena kita
menganggap masalah kebersihan adalah masalah sepele, padahal jika hal tersebut
dibiarkan terus dapat mempengaruhi kesehatan secara umum.
Personal Hygiene berasal
dari bahasa Yunani yaitu personal yang artinya perorangan dan hygiene berarti
sehat.Kebersihan seseoang adalah suatu tindakan untuk memelihara kebersihan dan
kesehatan seseoran untuk kesejahteraan fisik dan psikis.
Personal hygiene adalah
suatu tindakan untuk memelihara
kebersihan dan kesehatan seseorang untuk kesejahteraan fisik dan
psikis. Tujuan dilakukan personal hygiene adalah meningkatkan derajat kesehatan seseorang, memelihara kebersihan diri seseorang, memperbaiki personal hygiene yang kurang, mencegah penyakit, meningkatkan percaya diri seseorang, menciptakan keindahan. Personal hygiene termasuk Perawatan kulit kepala dan rambut, Perawatan mata,Perawatan hidung, Perawatan telingga, Perawatan kuku kaki dan tangan,Perawatan genetalia,Perawatan kulit seruruh tubuh, Perawatan tubuh secara keseluruhansebagian penderita kusta menderita kusta berdasarkan suatu penelitian karena minimnya personal hygienenya dalam hal ini adalah frekwensi mandinya 1 kali dalam sehari dalam perawatan diri secara keseluruhan. Personal hygiene penderita kusta sebagian kecil buruk ,berdasarkan suatu penelitian masih ada yaitu sebanyak 32,0% (edi wibowo: 2013)
psikis. Tujuan dilakukan personal hygiene adalah meningkatkan derajat kesehatan seseorang, memelihara kebersihan diri seseorang, memperbaiki personal hygiene yang kurang, mencegah penyakit, meningkatkan percaya diri seseorang, menciptakan keindahan. Personal hygiene termasuk Perawatan kulit kepala dan rambut, Perawatan mata,Perawatan hidung, Perawatan telingga, Perawatan kuku kaki dan tangan,Perawatan genetalia,Perawatan kulit seruruh tubuh, Perawatan tubuh secara keseluruhansebagian penderita kusta menderita kusta berdasarkan suatu penelitian karena minimnya personal hygienenya dalam hal ini adalah frekwensi mandinya 1 kali dalam sehari dalam perawatan diri secara keseluruhan. Personal hygiene penderita kusta sebagian kecil buruk ,berdasarkan suatu penelitian masih ada yaitu sebanyak 32,0% (edi wibowo: 2013)
2.
Perilaku merupakan respon
atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari luar maupun
dari dalam dirinya. Banyak penderita yang perilaku sehatnya memang dibawah
standar kesehatan sehingga memiicu perkembangan Mycobacterium Leprae. perilaku penghuni dengan kategori kurang
sebesar 81,1% (Gandhi kusyoko:2010).
B.
Kepadatan hunian
|
Pengetahuan
|
PENYAKIT
KUSTA
|
Personal
Hygiene
|
perilaku
|
umur
|
Jenis kelamin
|
Keterangan:
:
variable independent
Gambar 1.
Bagian kerangka konsep
C.
Definisi
oprasional dan kriteria objektif
1. Kusta
Definisi oprasional:
Kusta dalam penelitian
ini adalah apabila sampel mengalami
Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa Kelainan kulit/ lesi yang dapat
berbentuk bercak putih (hipopigmentasi)
atau kemerahan (eritema)
yang
mati rasa (anastesi), Penebalan saraf
tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf.(kemenkes RI:2012).
2. Kepadatan
hunian
Definisi
oprasional:
Kepadatan
hunian yang dimaksud dalam penelitian ini adalah apabila manusia menempati
suatu batas ruang tertentu dengan jumlah orang yang banyak,dalam hal ini
standar luar ruangan
8 m2 tidak boleh dihuni lebih dari 2 orang atau 3 kecuali anak dibawah umur 5
tahun.
Kriteria Objektif:
padat : Apabila
sampel tinggal dalam ruangan sempit atau kurang dari 8 m2 dan dihuni lebih dari dua orang
atau banyak orang
tidak
padat : Apabila sampel tidak tinggal dalam ruangan
sempit atau kurang dari 8 m2 dan dihuni
tidak lebih dari 2 orang
3. pengetahuan
Definisi
oprasional:
Pengetahuan yang dimaksud adalah
pengetahuan yang dimiliki oleh penderita mengenai penularan, penyebab,
pengobatan, dan pencegahan terjadinya kusta
Kriteria Objektif:
Cukup :
Apabila jawaban penderita mengenai pengetahuan tentang kusta ≥ 60% dari
total nilai jawaban dari seluruh pertanyaan yang disusun dan diberi bobot
Kurang
: Apabila jawaban penderita mengenai
pengetahuan tentang kusta < 60% dari total nilai jawaban dari seluruh
pertanyaan yang disusun dan diberi bobo
4. Personal
hygiene
Definisi
oprasional:
Personal hygiene yang dimaksud
adalah tindakan untuk memelihara kebersihan
dan kesehatan seseorang untuk menjaga
kesejahteraan fisik dan psikis dengan menjaga frekuensi mandi minimal 2
kali sehari
Kriteria Objektif:
Risiko
tinggi : Apabila penderita memiliki frekuensi mandi kurang dari 2 kali sehari.
Risiko
rendah : Apabila penderita memiliki frekuensi mandi 2 kali sehari.
5. Perilaku
Definisi
oprasional:
Perilaku dalam penelitian ini
adalah respon atau reaksi seorang individu terhadap stimulus yang berasal dari
luar maupun dari dalam dirinya yang berhubungan
dengan penyakit kusta.
Kriteria Objektif:
Risiko
tinggi : Apabila penderita tidak mememiliki respon atau reaksi terhadap
stimulus yang berasal dari luar maupun dari dalam dirinya?
Risiko
rendah :
Apabila penderita memiliki respon atau reaksi terhadap stimulus yang
berasal dari luar maupun dari dalam dirinya?
D.
Hipotesis
penelitian
1. Kepadatan
hunian merupakan faktor risiko
kejadian penyakit kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid?
2. Pengetahuan
merupakan faktor risiko
kejadian penyakit kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid?
3. Personal
hygiene merupakan faktor risiko
kejadian penyakit kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid?
4. Perilaku
merupakan faktor risiko
kejadian penyakit kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid?
METODE
PENELITIAN
A.
Jenis
Penelitian
Jenis
penelitian yang digunakan adalah observasional
dengan pendekatan cross sectional study dengan tujuan untuk mengetahui
faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta dengan kepadatan hunian,
pengetahuan, personal hygiene dan perilaku,yang diamati pada periode waktu yang
sama.
B.
Lokasi
Penelitian ini dilaksanakan di rumah sakit
khusus tajuddin chalid
C.
Waktu
Penelitian
dilakukan pada bulan juni tahun
2014.
D.
Populasi
dan Sampel
1. Populasi
Populasi
dalam penelitian adalah semua pasien rawat inap Rumah
Sakit Tajuddin Chalid
2. Sampel
Sampel dalam penelitian ini adalah sebagian pasien rawat inap yang menderita
kusta di rumah sakit Tajuddin Chalid dengan menggunakan pengambilan sampel purpossive sampling
dengan besar kriteria sample ditentukan sebagai
berikut
:
1. Bersedia menjadi sample
2. Pasien rawat inap
3. Berusia di atas 17 tahun
4. Tidak cacat mental
E.
Cara Pengumpulan Data
Pengumpulan
data dilakuk berdasarkan sumber data yang digunakan sebagai berikut :
1. Data
Primer
Data
yang diperoleh secara langsung dengan melakukan wawancara langsung secara
terstruktur kepada sampel terpilihmenggunakan bantuan kuesioner yang berisikan
daftar pertanyaan sehubungan dengan variabel penelitian.
2. Data
Sekunder
Merupakan
data hasil olahan yang digunakan peneliti sebagai data penunjang penelitian
dengan melakukan penelusuran beberapa literatur yang menunjang dan penggunaan
data mahasiswa di tingkat sekolah dan instansi terkait.
F. Cara
Pengolahan Data
Data yang dikumpulkan kemudian diolah dengan
bantuan komputer program SPSS dengan langkah-langkah dalam pengolahan data
adalah sebagai berikut :
1. Tahap
editing dilakukan dengan tujuan agar data yang diperoleh merupakan informasi
yang benar. Pada tahap ini dilakukan dengan memperhatikan kelengkapan jawaban
dan jelas tidaknya jawabannya.
2. Pengkodean
dimaksudkan untuk menyingkat data yang diperoleh agar memudahkan mengolah dan
manganalisis data dengan memberikan kode – kode dalam bentuk angka.
3. Pembuatan/pemindahan
hasil koding kuesioner ke daftar koding (master tabel)
4. Tabulasi.
Pada tahap ini data yang sudah diolah dengan komputer disajikan dalam bentuk
tabel distribusi frekuensi dan tabel silang.
G. Analisis
dan Penyajian Data
a. Analisis Data
1. Analisis
Univariat
Untuk menampilkan distribusi
frekuensi persentase dari masing-masing variable dalam bentuk tabel.
2. Analisis
Bivariat
Dilakukan untuk mengetahui
hubungan antara variabel independen dengan variabel dependen dengan menggunakan
uji statistic chi-squar dengan
tingkat kemaknaan (α 0.05.) yang menggunakan
program SPSS.
Tabel 1.
Kontigensi 2x2
Variabel
independen
|
Variabel
Dependen
|
Jumlah
|
|
Katagori
I
|
Katagori
II
|
||
Katagori
1
|
A
|
B
|
a+b
|
Katagori
2
|
C
|
D
|
c+d
|
Total
|
a+c
|
b+d
|
a+b+c+d
|
Sumber
: fatri wira dalam Sugiyono, 2012
Dengan rumus :Chi_Squar
Keterangan :
X2
= Hasil perhitungan yang dikonfirmasi dengan tabel chi_squar.
Interpretasi : Bermakna bila
hitung >
tabel (3,841) atau p < α 0,05.
Rumus skala Guttman
I=R/K R=
skor tinggi - skor rendah
Skor tinggi =
1
Skor rendah =
0
Kategori =
2
Jumlah pertanyaan = 10
Jumlah skor tinggi
= jumlah pertanyaan x jumlah skor tinggi
=
10 x 1
=
10 =100%
Skor rendah =
jumlah pertanyaan x jumlah skor rendah
=
10 x 0
=
0 = 0%
R = 100% - 0%
= 100%
I = R/K
= 50%
Jadi nilai I = 50%
Cukup, Apabila nilai I ≥ 50%
Kurang, Apabila nilai I < 50%_
H. Penyajian
Data
Data
yang telah diolah kemudian disajikan dalam bentuk tabel berupa tabel analisis
univariat yang memberi gambaran dari masing-masing variabel penelitian dan
tabel silang analisis bivariat untuk meninjau hubungan variabel dependen dan
independen disertai penjelasan.
BAB
V
HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
karakteristik
Responden
Data penelitian yang digunakan dalam
penelitian ini merupakan data primer yang diperoleh dengan menggunakan daftar
pertanyaan (kuesioner) yang telah disebarkan menajadi contact person responden melakukan perawatan penyakit kusta di
rumah sakit kusta di rumah sakit Tajudin Chalid Makassar Sulawesi selatan tahun
2014. Sampai dengan batas akhir pengembalian yakni tangggal 11 Juni 2014, dari
45 kuesioner yang disebarkan, 40 kusioner yang kembali dan 5 kuesioner yang
tidak kembali. Tingkat pengendalian (response rate) yang diperoleh adalah 89%
sedangkan sisanya 11% tidak kembali. Hal ini diakibatkan adanya responden yang
acuh pada saat penyebaran kuesioner dilakukan, akibatnya tidak sempat
memberikan kuesioner sampai batas waktu yang ditentukan.
Data demografi responden dalam tabel 5.1
menajkan informasi umm mengenai umur responden yang ditemukan di lapangan.
Sebagian responden yang terkena penyakit kusta berumur antara 47-70 tahun yaitu
berjumlah 18 orang. Dari 18 orang ini ada 17 orang (94.4%) yang sedang diobati
dan satu orang (5.6%) telah selesai diobati atau sehat. Adapun yang berumur
35-45 tahun terdapat 12 responden dan sisa nya berumur <35 tahun yaitu
sebesar 10 responden.
Tabel 5.1
Karakteristik Responden Penyakit Kusta Berdasarkan Umur Di Rumah Skit kusta
Tajudin Chalid Makassar
Sulawesi Selatan Tahun 2014
Sulawesi Selatan Tahun 2014
Umur
|
Kejadian Kusta
|
Total
|
||||
Sehat
|
Masa Pengobatan
|
|||||
F
|
%
|
F
|
%
|
f
|
%
|
|
< 35 tahun
35-45 tahun
45-70 tahun
|
0
1
1
|
0
8.3
5.6
|
10
11
17
|
100
91.7
94.4
|
10
12
18
|
100
100
100
|
Total
|
2
|
5
|
38
|
95
|
40
|
100
|
Sumber : data primer diolah,
2014
Tabel
5.2 Karakteristik Responden Penyakit Kusta Berdasarkan Agama Rumah Sakit Kusta
Tajudin Chalid
Makassar Sulawesi Selatan
Makassar Sulawesi Selatan
Umur
|
Kejadian Kusta
|
Total
|
||||
Sehat
|
Masa Pengobatan
|
|||||
F
|
%
|
F
|
%
|
F
|
%
|
|
Islam
Kristen
Hindu
Budha
|
2
0
0
0
|
5.7
0
0
0
|
33
1
1
3
|
94.3
100
100
100
|
35
1
1
3
|
100
100
100
100
|
Total
|
2
|
5
|
38
|
95
|
40
|
100
|
Sumber : data primer diolah,
2014
Tabel 5.2
menggambarkan bahwa mayoritas responden beragama islam, dari 40 responden
terdapat 35 orang, 3 orang beragama Budha, dan yang beragama Hindu dan kristen
mempunyai jumlah yang sama yaitu masing- masing berjumlah 1 orang. Dari 35
irang yang beragama Islam terdapat 33 orang yang masih menjalani pengobatan dan
2 orang sudah tergolong sehat.
Tabel
5.3 Karakteristik Responden Penyakit Kusta Berdasarkan Pekerjaan di Rumah Sakit
Kusta Tajudin Chalid
Makassar Sulawesi Selatan tahun 2014
Makassar Sulawesi Selatan tahun 2014
Umur
|
Kejadian Kusta
|
Total
|
||||
Sehat
|
Masa Pengobatan
|
|||||
F
|
%
|
F
|
%
|
F
|
%
|
|
IRT
PNS
Tani
Wiraswasta
|
2
0
0
0
|
11.7
0
0
0
|
15
3
9
11
|
88.3
100
100
100
|
17
3
9
11
|
100
100
100
100
|
Total
|
2
|
5
|
38
|
95
|
40
|
100
|
Sumber : data primer diolah,
2014
Tabel 5.3
menggambarkan karateristik responden penyakit kusta berdasarkan pekerjaan bahwa
sebagian responden yang terkena penyakit kusta adalah bekerja sebagai ibu rumah
tangga, yaitu sebanyak 17 orang, PNS berjumlah 3 orang, Tani berjumlah 9 orang
dan wiraswasta berjumlah 11 orang.
B.
Hasil
Penelitian
1. Analisis Univariat
Analisis univariat dalam penelitian
adalah untuk meneliti frekensi terhadap variabel penelitian ini terdiri atas
kepadatan huniaan, pengetahuan, personal hygiene dan perilaku sehat ang dapat
dijelasskan sebagai berikut :
a. Kepadatan hunian
Tabel 5.4 menggambarkan kepadatan hunian
responden bahwa sebagian besar responden menempati ruang yang padat yaitu
sebanyak 20 orang (70%), sebaliknya ada 12 orang (30%) yang menempati tempat
tinggal yang tidak padat.
Tabel 5.4
Kepadatan Hunian Responden di
Rumah Sakit Kusta Tajudin Chalid
Makassar Sulawesi Selatan
Tahun 2014
Rumah Sakit Kusta Tajudin Chalid
Makassar Sulawesi Selatan
Tahun 2014
Kepadatan hunian
|
Frekuensi
|
%
|
Tidak
Padat
Padat
|
11
29
|
27.5
75.5
|
Total
|
40
|
100
|
Sumber : data primer diolah,
2014
b. Tanggapan responden terhadap
pengetahuan
Tabel 5.5
Tanggapan Responden Terhadap Pengetahuan
di Rumah Sakit Kusta Tajudin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014
di Rumah Sakit Kusta Tajudin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014
Pengetahuan
|
Frekuensi
|
%
|
Kurang
Cukup
|
5
35
|
12.5
87.5
|
Total
|
40
|
100
|
Sumber : data primer diolah,
2014
Tabel 5.5 menggambarkan tanggapan
responden terhadap pengetahan bahwa sebagin esar responden mempunyai
pengetahuan yang cukup yaitu sebanyak 36 orang (90%), dan sebaliknya ada 4 orang
(10) yang mengetahui pengetahan yang kurang.
c.
Tanggapan
responden tentang personal hygiene
Tabel 5.6 menggambarkan
tanggapan responden terhadap personal hygiene bahwa sebagian responden memilih
personal hygiene yang berisiko tinggi yaitu sebanyak 36 orang (90%), sebaliknya
ada 4 orang (10%) yang mempunyai personal hygiene dengan resiko rendah.
Tabel 5.6 Tanggapan responden Terhadap
Personal hygiene di rumah sakit kusta Tajudidin Chalid Makassar
Sulawesi Selatan tahun 2014
Sulawesi Selatan tahun 2014
Perilaku
|
Frekuensi
|
%
|
Resiko
rendah
Resio
tinggi
|
3
37
|
7.5
92.5
|
Total
|
40
|
100
|
Sumber : data primer diolah,
2014
d.
Tanggapan
responden terhadap perilaku sehat
Tabel 5.7 Tanggapan responden terhadap
perilaku sehat di Rumah sakit Kusta Tajuddin Chalid Makassar
Sulawesi Selatan Tahun 2014
Sulawesi Selatan Tahun 2014
Perilaku sehat
|
Frekuensi
|
%
|
Resiko
rendah
Resio
tinggi
|
38
|
5
95
|
Total
|
40
|
100
|
Sumber : data primer diolah,
2014
Tanggapan responden terhadap perilaku
sehat bahwa sebagian responden mempunyai perilaku sehat dengan resiko tinggi
yaitu sebanyak 38 orang (95%), sebaliknya ada 2 orang (5%) responden yang
mempunyai perilaku sehat dengan resiko rendah.
2.
Analisis
Bivariat
Anaisis dalam
penelitian ini adalah untuk menganalisis hubungan antara kepadatan hunian,
pengetahuan, personal hygiene dan perilaku sehat terhadap kejadian penyakit
kusta.
a.
Hubungan
kepadatan hunian dengan kejadian kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta tajuddin
Chalid Maksar Sulaesi selatan Tahun 2014
Tabel 5.8 Hubungan
kepadatan hunian dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta tajuddin Chalid
Maksar
Sulawesi selatan Tahun 2014
Sulawesi selatan Tahun 2014
Kepadatan Hunian
|
Kejadian Kusta
|
Total
|
Sig.
P Value |
||||
Sehat
|
Masa Pengobatan
|
||||||
F
|
%
|
F
|
%
|
f
|
%
|
Alfa (0.05)
|
|
Tidak padat
|
1
|
9.1
|
10
|
90.9
|
11
|
100
|
|
Padat
|
1
|
3.4
|
28
|
96.6
|
29
|
100
|
0.005
|
Total
|
2
|
5
|
38
|
95
|
40
|
100
|
Sumber : data primer diolah,
2014
Tabel 5.8 menggambarkan hubungan antara
kepadatan hunian dengan kejadian kusta di rumah sakit Tajuddin Chalid Makassar
Sulawesi selatan Tahun 2014 bahwa mayoritas responden menempati ruang yang
padat yaitu sebanyak 29 orang, terdiri dari 28 responden yang masih berobat dan
1 orang sudah dinyatakan sehat.
Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai
p(0.005) < (0,05) ini berarti ada
hubungan yang signifikan antara
kepadatan hunuan dengan kejadian kusta pada
Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi selatan Tahun 2014
b.
Hubungan
pengetahuan dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar
Sulawesi selatan Tahun 2014
Tabel 5.9 Hubngan
antara pengetahuan dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta tajuddin Chalid
Maksar
Sulawesi selatan Tahun 2014
Sulawesi selatan Tahun 2014
pengetahuan
|
Kejadian Kusta
|
Total
|
Sig.
P Value |
||||
Sehat
|
Masa Pengobatan
|
||||||
F
|
%
|
F
|
%
|
f
|
%
|
Alfa (0.05)
|
|
Kurang
|
1
|
20
|
4
|
80
|
5
|
100
|
|
Cukup
|
1
|
2.9
|
34
|
97.1
|
35
|
100
|
1,000
|
Total
|
2
|
5
|
38
|
95
|
40
|
100
|
Sumber : data primer diolah,
2014
Tabel 5.9 menggambarkan hubungan
pengetahuan dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makssar
Sulawesi Selatan tahun 2014 bahwa dari 40 responden ada 35 orang yang
berpengetahuan cukup, terdiri atas 34 orang yang masih menjalani masa
pengobatan, dan 1 orang sudah dinyatakan sembuh.
Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai
p(1,000)>(0,05) tidak ada
hubungan yang signifikan antara pengetahuan responden dengan kejadian kusta di
Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan tahun 2014.
c. Hubungan personal hygiene
dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin chalid Makassar Sulawesi
Selatan Tahun 2014
Tabel 5.10
Hubungan personal hygiene dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin
chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014
Personal hygiene
|
Kejadian Kusta
|
Total
|
Sig.
P Value |
||||
Sehat
|
Masa Pengobatan
|
||||||
F
|
%
|
F
|
%
|
f
|
%
|
Alfa (0.05)
|
|
Resiko rendah
|
1
|
33,3
|
2
|
66.7
|
3
|
100
|
|
Resiko tinggi
|
1
|
2.7
|
36
|
97.3
|
37
|
100
|
0.008
|
Total
|
2
|
5
|
38
|
95
|
40
|
100
|
Sumber : Data primer diolah, 2014
Tabel 5.10 menggambarkan adanya hubungan
antara personal hygiene dengan kejadian kusta di rumah sakit khusus kusta
tajuddin chalid makassr tahun 2014 bahwa umumnya responden mayoritas mempunyai
personal hygiene dengan resiko tinggi yaitu 37 orang, yang terdiri dari 36
orang masih menjalani masa pengobatan dan 1 orangnya sudah dikatakan
sembuh.sedangkan responden dengan resiko rendah personal hygiene rendah adalah
sebanyak 3 orang yang terdiri dari 2 orang masih menjalani masa pengobatan dan
1 orangnya dinyatakan sembuh.
Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai
P (0,008) < 0.05 sehingga dapat
dinyatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara personal hygiene dengan kejadian kusta di Rumah
Sakit Kusta Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014.
d.
Hubungan
perilaku sehat dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin Chalid
Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014
Tabel 5.11 Hubungan
perilaku sehat dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin Chalid
Makassar
Sulawesi Selatan Tahun 2014
Sulawesi Selatan Tahun 2014
Perilaku sehat
|
Kejadian Kusta
|
Total
|
Sig.
P Value |
||||
Sehat
|
Masa Pengobatan
|
||||||
F
|
%
|
F
|
%
|
f
|
%
|
Alfa (0.05)
|
|
Resiko rendah
|
1
|
50
|
1
|
50
|
2
|
100
|
|
Resiko tinggi
|
1
|
2.6
|
37
|
97.4
|
38
|
100
|
0.001
|
Total
|
2
|
5
|
38
|
95
|
40
|
100
|
Sumber : Data primer diolah, 2014
Tabel 5.11 menggambarkan hubungan antara
perilaku sehat dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin Chalid
Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014 bahwa mayoritas responden memnpunyai
resiko tinggi dari perilaku sehat yaitu sebanyak 38 orang, yaitu terdiri atas
37 responden asih menjalani masa pengobatan dan 1 orang dinyatakan sembuh.
Adapun resiko rendah perilaku sehat hanya sebanyak 2 orang yang terdiri atas
satu orang telah dinyatakan sehat dan satu orangnya masih menjalani pengobatan.
Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai
P (0,001) < 0,05 dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara perilaku sehat dengan kejadian kusta dirumah sakit kusa Tajuddin Chalid
Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014.
C.
Pembahasan
Hasil Penelitian
Penelitian
ini bertjuan untuk menganalisis hbungan antara kepdatan hunian, pengetahun,
personal hygiene dan perilaku sehat terhadap kejadian penyakit kusta di rumah
sakit kusta Tajuddin Chalid Makassar sulawesi Selatan tahyn 2014. Secara
keseluruhan, hasil penguji hipotesis
dengan menggunakan uji square dapat ddilihat pada tabel 5.12 berikut ini.
Tabel 5.12 ringkasan hasil penguji hipotesis
Kode
|
Hipotesis
|
Hasil
|
H1
|
Keadatan hunian merupakan
faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta
|
Diterima
|
H2
|
Pengetahuaan merupakan
faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta
|
Ditolak
|
H3
|
Personal hygiene merupakan
faktor yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta
|
Diterima
|
H4
|
Perilaku merupakan faktor
yang berhubungan dengan kejadian penyakit kusta
|
Diterima
|
Sumber : Data primer diolah, 2014
1.
Hubungan
kepadatan hunian dengan kejadian kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta tajuddin
Chalid Maksar Sulaesi selatan Tahun 2014.
Tabel 5.8 menggambarkan hubungan antara
kepadatan hunian dengan kejadian kusta di rumah sakit Tajuddin Chalid Makassar
Sulawesi selatan Tahun 2014 bahwa mayoritas responden menempati ruang yang
padat yaitu sebanyak 29 orang, terdiri dari 28 responden yang masih berobat dan
1 orang sudah dinyatakan sehat.
Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai
p (0.005)
< (0,05) ini berarti ada hubungan yang
signifikan antara kepadatan hunuan dengan kejadian kusta pada Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar
Sulawesi selatan Tahun 2014.
2.
Hubungan
pengetahuan dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makassar
Sulawesi selatan Tahun 2014
Tabel 5.9 menggambarkan hubungan
pengetahuan dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Tajuddin Chalid Makssar
Sulawesi Selatan tahun 2014 bahwa dari 40 responden ada 35 orang yang
berpengetahuan cukup, terdiri atas 34 orang yang masih menjalani masa
pengobatan, dan 1 orang sudah dinyatakan sembuh
Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai
p (1,000) > (0,05) tidak ada hubungan
yang signifikan antara pengetahuan responden dengan kejadian kusta di Rumah
Sakit Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan tahun 2014.
3.
Hubungan
personal hygiene dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin chalid
Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014
Tabel 5.10 menggambarkan adanya hubungan
antara personal hygiene dengan kejadian kusta di rumah sakit khusus kusta
tajuddin chalid makassr tahun 2014 bahwa umumnya responden mayoritas mempunyai
personal hygiene dengan resiko tinggi yaitu 37 orang, yang terdiri dari 36
orang masih menjalani masa pengobatan dan 1 orangnya sudah dikatakan
sembuh.sedangkan responden dengan resiko rendah personal hygiene rendah adalah
sebanyak 3 orang yang terdiri dari 2 orang masih menjalani masa pengobatan dan
1 orangnya dinyatakan sembuh.
Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai
P (0,008)< 0.05 sehingga dapat
dinyatakan bahwa ada
hubungan yang signifikan antara personal hygiene dengan kejadian kusta di Rumah
Sakit Kusta Tajuddin Chalid Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014.
4.
Hubungan
perilaku sehat dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin Chalid
Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014
Tabel 5.11 menggambarkan hubungan antara
perilaku sehat dengan kejadian kusta di Rumah Sakit Kusta Tajuddin Chalid
Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014 bahwa mayoritas responden memnpunyai
resiko tinggi dari perilaku sehat yaitu sebanyak 38 orang, yaitu terdiri atas
37 responden masih
menjalani masa pengobatan dan 1 orang dinyatakan sembuh. Adapun resiko rendah
perilaku sehat hanya sebanyak 2 orang yang terdiri atas satu orang telah
dinyatakan sehat dan satu orangnya masih menjalani masa pengobatan.
Berdasarkan uji statistik Fisher’s Exact Test nilai
P (0,001) < 0,05 dapat dinyatakan bahwa ada hubungan yang signifikan
antara perilaku sehat dengan kejadian kusta dirumah sakit kusa Tajuddin Chalid
Makassar Sulawesi Selatan Tahun 2014.
BAB VI
KESIMPULAN DAN SARAN
A.
Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan penelitian dapat
disimpulkan sebagai berikut :
1. Ada hubungan yang signifikan
antara kepadatan hunian dengan kejadian kusta
2. Tidak
ada hubungan yang signifikan antara pengetahuan dengan kejadian kusta
3. Ada hubungan yang signifikan
antara personal hygine dengan kejadian kusta
4. Ada hubungan yang signifikan
antara perilaku/sikap dengan kejadian kusta.
B.
Saran
Adapun
saran –saran pada penelitian adalah sebagai berikut :
1. Diharapkan
kepada pihak rumah sakit untuk memprhatikan kepadatan hunian, personal hygine,
dan perilaku atau sikap terhadap para penderita kusta sebelum melakukan
tindakan pengobatan terhadap mereka, sehingga proses penyembuhan dapat berjalan
dengan baik
2. Diharapkan
kepada para penderita kusta untuk cepat-cepat melakukan tindakan pengobatan
sebelum mereka ada kecacatan pada tubuh mereka, dan selalu banyak bertanya dan
membaca untuk meningkatkan pengetahuaan mereka
3. Tulisan
ini penulis harapkan bisa dijadikan sebagai refrensi untuk penulisan karya
ilmiah lainnya, khusus terkait dengan pembahasan enyakit kusta
Alit putu,
2013.Penyakit kusta.
Aida
nurul, 2013.Penyebab penyakit kusta,(
http://nurulaida34.blogspot.com/2013/02/penyebab-penyakit-kusta.html) diakses tanggal 24, oktober,2013)
Candra asep, 2013.”jumlah pengidap kusta masih tinggi” (http://www.jurnas.com/news/82829/Penderita_Kusta_Indonesia_Peringkat_Tiga_Dunia_/1/Sosial_Budaya/Kesehatan) diakses tanggal 15,oktober, 2013.
Hidayatul,
personal hygiene. (http//:www. Jtptunimus-gdl-hidayatul-6572-3 babiis-h.jurnal)
diakses 7,oktober, 2013.
Irma ayu, penyakit Hansen.(
Joniansyah,
2013.” Penderita kusta Indonesia tertinggi ketiga di dunia”(http//:www.Kompasgramedia.com)
diakses,.15,oktober 2013
Kemenkes,
2012 Pedoman nasional program
pengendalian penyakit
kusta.Direktorat
jenderal pengendalian penyakit dan penyehatan
lingkungan:
Jakarta
Melinda,
2013. proposal perencanaan kesehatan polewali mandar tahun
2013
tentang promotif and isolation penyakit kusta (tugas
epidemiology
perencanaan kesehatan).
Rahman
watief, 2010.pola pencarian pengobatan penderita penyakit kusta di kotamadya
makassar tahun 2010.http//:www.doc. pola pencarian pengobatan penderita
penyakit kusta di kotamadya makassar tahun 2010.) diaskes tanggal 1, oktober,
2013
Samariansyah
irwan, 2013. “Penderita ksuta Indonesia peringkat ketigadunia”.(http://www.jurnas.com/news/82829/Penderita_Kusta_Indonesia_Peringkat_Tiga_Dunia_/1/Sosial_Budaya/Kesehatan. diakses
tanggal 15,oktober, 2013
Widoyono,
2011.Penyakit tropis (epidemiologi,
penularan, pencegahan & pemberantasannya) edisi kedua, Erlangga:semarang
Yunias
sandoro, 2013.personal hygiene.
Zulkoni
akhzin, 2010.Parasitologi.medical: Jakarta
(http//:www.blognya Melinda
epidemiology.com/2013/05) diaskses tanggal 15, oktober, 2103)
0 Response to " Apakah factor kepadatan hunian, factor pengetahuan ,factor prilaku, dan factor personal hygiene berhubungan dengan kejadian kusta pada pasien Rumah Sakit khusus Tajuddin Chalid Makassar Tahun 2014."
Post a Comment